Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Tekad Dan Semangat: Landasan Awal Dari Praktik

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Tekad Dan Semangat: Landasan Awal Dari Praktik

Upasaka Pandita Vijaya Rudiyanto Tanwijaya

Jum'at, 29 Juli 2022

MBI

Dalam menjalankan praktik Dharma, bukan hanya membutuhkan kemauan saja, tetapi harus dibarengi dengan semangat dan tekad. Semangat membuat kita akan bergerak maju, bukan mundur. Tekad akan membuat kita kuat, meski halangan pasti datang bertubi-tubi. Ada kalimat bijak mengatakan bahwa satu tekad akan membuka seribu jalan. Itu benar!


Buddha sendiri adah sosok yang mewakili keduanya, dalam arti memiliki semangat yang sempurna dan juga tekad yang tak tertandingi. Berkalpa kehidupan telah dilalui-Nya dalam berbagai bentuk kelahiran, namun berkat kegigihan dalam menjalankan praktik, maka sampai pada satu titik, Ia berhasil mencapai ke-Buddha-an.

Tokoh besar dalam Agama Buddha tentunya meneladani dedikasi dan perjuangan Buddha Sakyamuni. Mereka, melalui proses Panjang, seringkali sarat dengan penderitaan, konsisten dalam menjalankan praktik latih diri. Bukan hanya sehari, sebulan, bertahun-tahun, bahkan ada yang sepanjang hayatnya menerima begitu banyak terpaan pahit dalam kehidupan yang mereka jalani. Proses inilah yang kemudian mematangkan semua derap langkah perjuangan mereka sehingga kelak namanya dikenang sepanjang masa.

Salah satunya, adalah Maha Upajaya Kuan Ching (1892-1986), yang dikenal sebagai Maha Guru yang memiliki keteladanan dalam hal semangat dan tekad yang luar biasa. Beliau terlahir dalam kehidupan yang memprihatinkan. Ayah ibunya pendek usia sehingga ia menjadi yatim piatu sejak usia kecil, buta huruf dan kondisi fisik yang kurang baik kesehatannya.  Pada usia 20 tahun, ia memasuki kehidupan monastik dan menjadi samanera.

 

Sadar bahwa ia tak memiliki kemampuan hebat, maka beliau mengerjakan hal-hal yang dienggani bahkan ditolak oleh orang lain, misalnya: memasak makanan, membersihkan dapur dan kakus, mengangkat air, membelah kayu, membersihkan altar, membangunkan penghuni wihara untuk puja bakti pagi, dan sebagainya. Deretan aktivitas ini tentunya bukan pekerjaan mudah, apalagi pada masa itu, wihara yang ada semuanya berukuran besar dengan jumlah anggota monastik yang banyak, sampai ratusan. Bisa dibayangkan butuh tenaga yang banyak untuk mengerjakan itu semua. Ditambah lagi harus menerima celaan dari sesama pelatih diri yang masih pemula. Ini sangat tidak mudah.

Share:

Komentar (1)

Amin Untario

Sabtu, 30 Juli 2022 19:09

terima kasih Romo Rudiyanto… terus menulis ya

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS