Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Kartini Dalam Perbedaan Gender di Agama Buddha

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Kartini Dalam Perbedaan Gender di Agama Buddha

Oleh : U.P. Sasanaviriya Suginato Sulaiman

Jum'at, 21 April 2023

MBI

Setiap tanggal 21 April kita akan memperingati Hari Kartini.  Namun, tampaknya peringatan tahun ini akan terlewatkan karena tertutup dengan hiruk pikuknya mudik, perayaan Idul Fitri, dan berbagai agenda politik terutama yang menyangkut pilpres. Kartini adalah seorang tokoh emansipasi wanita yang memperjuangkan kesamaan hak di abad yang lalu. Namun demikian, apakah kita menikmati perjuangan Beliau, khususnya dalam agama Buddha? Bukan karena Kartini pernah berkata bahwa, “Saya ini anak Buddha..” maka penulis membahas soal ini.


Penulis tertarik dengan tulisan yang berjudul “Kesetaraan Gender dalam Agama Buddha”, yang ditulis oleh Hanida di kanal Buddhazine. Tulisan ini cukup kompeten karena mengacuh pada beberapa teks yang digunakan dalam agama Buddha, misalnya Sutta ke-27 Digha Nikaya, Agganna Sutta tentang asal usul manusia.

Menurut isi Sutta ini, manusia berasal dari mahkluk-mahkluk yang bercahaya, namun ketika mereka menikmati unsur-unsur dari sari bumi, maka mereka menjadi kehilangan cahayanya serta tidak dapat lagi terbang. Dan melalui evolusi yang panjang, jadilah manusia yang kita kenal sekarang ini.

Ketika kita memperhatikan  Agganna Sutta ini, maka perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan belum terasa. Sampai pada tahap ini, laki-laki dan perempuan tampaknya berada pada posisi yang sama.  Lalu, apakah agama Buddha menghargai wanita sederajat dengan laki-laki? Memperhatikan pancasila Buddhis, maka lima sila yang diajar sang Buddha berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Sampai tahap ini pun kedudukan pria dan wanita sederajat. 

Tapi jika kita perhatikan Vinaya / aturan kebiksuan, maka terlihatnya perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Aturan untuk biksu lebih sedikit dibanding  biksuni.  Biksu ada 227 aturan, sedangkan biksuni adalah 311 aturan.  Jadi, ada 84 aturan biksuni yang lebih banyak. Kita tentunya sudah tahu bahwa di dunia Buddhis mengenal aliran Theravada atau Hinayana dan aliran Mahayana.  Dalam Theravada, di banyak negara Buddhis, termasuk di Indonesia tidak mengakui kedudukan Biksuni (Bhikkhuni). Bahkan, dikatakan bahwa setelah 500 tahun  Buddha Parinirwana maka tidak ada lagi Bhikkhuni, yang ada hanya Anagarini.  Sedangkan, dalam Mahayana, tetap ada sangha Biksuni.

Perbedaan aturan antara Biksu dan Biksuni ini berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari berbagai sumber, dimaksudkan justru untuk melindungi para biksuni itu sendiri, misalnya mengenai aturan bepergian, yang waktu itu sangat menyusahkan bagi perempuan dan juga biksuni. Tapi jaman sudah berubah, bepergianpun sekarang banyak dilakukan oleh para biksuni, lalu pertanyaanya apakah Vinaya berubah untuk disesuaikan dengan jaman?.

Disamping itu dalam ajaran tentang tumimbal lahir, maka mereka yang lahir kembali belum tentu sama jenis kelaminnya dengan kehidupan yang lalu.  Misalnya, sebelumnya lahir sebagai laki-laki, namun dalam kehidupan yang baru ia terlahir sebagai wanita, atau sebaliknya. Namun demikian, apakah dalam agama Buddha juga tidak terjadi perlakuan yang membedakan anatara laki-laki dan perempuan?  Nyatanya, kelahiran sebagai laki-laki dianggap lebih unggul, sedangkan kelahiran sebagai perempuan dianggap kurang. Dalam ritual, laki-laki lebih diutamakan, bahkan dalam tradisi Theravada, sangha wanita telah lenyap sejak 5 abad yang lalu, khususnya di negara-negara Buddhis seperti Thailand, Sri Lanka, dst. Dengan demikian, jelas nyata ada perbedaan gender dimana laki-laki dianggap lebih unggul dari perempuan. 

Bahkan, kehidupan biologis perempuan sering dianggap sebagai karma buruk.  Misalnya menstruasi, kehamilan, lalu menyusui anak, dan melayani suami serta mengurus anak-anak. Penulis menilai penafsiran ini sungguh merendahkan derajat perempuan. Tanpa menstruasi, kehamilan, dan menyusui, serta pengurusan anak, maka tidak mungkin terjadi kelahiran manusia. Jadi, sifat biologis perempuan yaitu menstruasi, kehamilan, menyusui anak, mengurus anak, dan melayani suami, justru adalah keunggulan wanita dibanding laki-laki, bukan sebaliknya, dimana hal yang biologis tersebut merupakan keistimewaan wanita dibanding pria. 

Pakar Neurosains, dokter Ryu Hasan, dalam beberapa podcastnya pernah menyampaikan bahwa wanita jauh lebih unggul daripada laki-laki.  Contoh sederhana dari hal ini kita dapat merujuk pada usia.  Usia wanita lebih panjang hidupnya, yaitu sebanyak 75 tahun, dibanding rata-rata usia pria yaitu 70 tahun.  Menurut Ryo Hasan, semua bayi yang terbentuk di rahim ibunya dalam bentuk janin adalah wanita, namun ada beberapa kasus janin tersebut terjadi defiasi atau penyimpangan, maka bayi tersebut lahir sebagai laki-laki. Jadi menurutnya, laki-laki lahir karena penyimpangan dari bayi perempuan. 

Menurut Ryo Hasan pula, tidak mungkin laki-laki terlahir terlebih dahulu di dunia ini dibanding perempuan. Jika laki-laki lahir terlebih dahulu di dunia, maka ia akan punah dan tidak ada lagi umat manusia di dunia. Jadi, menurut Ryo Hasan, yang harus lahir terlebih dahulu di dunia ini adalah perempuan. Dengan perempuan yang terlahir lebih dahulu, maka laki-laki akan mempertahankan hidupnya di dunia ini bersama dengan perempuan.  Jika tidak ada perempuan, maka laki-laki itu akan punah.  Jadi, menurut ahli neurosaintis ini, perempuan jauh lebih penting daripada pria. 

Fakta dari teori yang disampaikan Ryo Hasan tersebut dapat dibuktikan dengan kelahiran Domba Kloning (Doli). Dalam proses kloning, sprema laki-laki atau pejantan tidak dibutuhkan, namun domba kloning tetap lahir tanpa sperma pejantan. Artinya, tanpa sperma pria seorang manusia jika di kloning tetap akan lahir walaupun kloning terhadap manusia sampai sekarang belum terjadi.  Hasil kloning Domba Doli itu membuktikan yang lahir dalam proses kloning adalah jenis kelamin betina (untuk domba) atau jika kloning dapat dilakukan terhadap manusia, maka yang lahir pasti berjenis kelamin perempuan.  Ini merupakan bukti bahwa wanita atau perempuan jauh lebih unggul dari laki-laki, sebab laki-laki adalah penyimpangan atau defiasi dari janin perempuan.

Dalam tulisan “Kesetaraan Gender dalam Agama Buddha” itu, diuraikan pula mengenai 8 syarat Garudhamma atau aturan khusus untuk para biksuni, yang diberikan pada saat Pajapati Gotami memohon wanita diterima memasuki komunitas Sangha (untuk lengkapnya silahkan dibuka link yang ada di sumber pustaka). Bagi penulis, kedelapan aturan itu jelas menunjukkan terjadinya perbedaan gender antara biksu dan biksuni atau pria dan wanita dalam persaudaraan para Arya atau Sangha itu. 

Kartini memperjuangkan emansipasi wanita di segala bidang dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, lalu pertanyaannya apakah agama Buddha steril dari perbedaan gender tersebut? Apakah perbedaan gender itu tidak berlaku untuk Biksuni atau perempuan yang beragama Buddha?  Walau mungkin kita di dalam Keluarga Buddhayana Indonesia menerima biksuni, bahkan yang bertradisi Theravada dan Vajrayana sekalipun, tapi perbedaan gender itu masih tetap ada. Mungkin diskursus ini masih banyak kekurangan di sana-sini, tetapi semangat perubahan atau Anicca dan menerima perkembangan teknologi baru seperti yang disampaikan pakar neurosaintis di atas yang bersumber dari prinsip ehipasiko, mestinya membuat umat Buddha, termasuk rohaniwannya, yaitu Biksu dan Biksuni mengakui adanya persamaan gender.
Sumber pustaka : 
Kesetaraan Gender dalam Agama Buddha (buddhazine.com)

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS