Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Cap Go Meh dalam Buddhisme

Oleh : U.P. Sasanavirya Sugianto Sulaiman

Jum'at, 03 Februari 2023

MBI

Perayaan Cap Go Meh sesungguhnya berasal dari tradisi Tiongkok yang di mulai dari Dinasti Han, namun kemudian berlanjut hingga sekarang. Dalam Buddhisme Cap Go Meh (tanggal 15 perhitungan bulan) merupakan hari Uposatha, biasanya dalam tradisi Mahayana akan dilaksanakan puja terhadap Seribu Buddha.


Cap Go Meh sendiri berasal dari dialek Hokkian dan tidak di kenal di Tiongkok, yang mereka kenal adalah Yen Xiao Cieh atau Festival Lampion atau festival muda-mudi atau yang juga kita kenal sebagai Valentine Days versi Tiongkok. Pada waktu itu muda-mudi diijinkan keluar, dengan demikian para lelaki muda dapat memilih jodohnya dan jika perempuanya menyetujui atau menyenangi lelaki yang datang menggodanya maka biasanya mereka akan melemparkan bulatan bunga yang terbuat dari kain sebagai tanda kesukaanya.


Di Indonesia sendiri perayaan Cap Go Meh merupakan perayaan yang ramai bahkan di Jawa akan di sediakan makanan khusus untuk perayaan ini yang bernama Lontong Cap Go Meh. Makanan ini merupakan bentuk alkuturasi budaya dan karena itu Lontong Cap Go Meh hanya ada di Jakarta dan beberapa daerah Jawa lainya, tidak dikenal di Sumatera apalagi di Negeri Tiongkok. Dahulu, Lontong Cap Go Meh selalu di hidangkan dengan daging babi panggang atau babi kecap atau rendang babi, tapi sekarang disesuaikan dengan selera nusantara yaitu menggunakan rendang sapi, opor ayam, atau telur, sehingga dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.


Dalam Buddhisme Cap Go Meh merupakan hari Uposatha. Ada sementara pihak yang melaksanakan vegetarian pada hari Uposatha tersebut, sehingga lontongnya pun lontong vegetarian alias tidak ada daging, yang ada mungkin hanya telur.  Di dalam tradisi Mahayana Cap Go Meh sama saja dengan hari Uposatha pada biasanya, tetapi menjadi istimewa karena merupakan Uposatha yang pertama di tahun baru. Untuk menyambut hari Uposatha itu biasanya dilakukan Puja Seribu Buddha dengan melakukan namaskara sebanyak seribu kali.


Dari sumber berita.bhagavant.com, menjelaskan bahwa menurut Chinese Festival Culture Series – The Lantern Festival oleh Li Song, salah satunya terkait dengan tradisi agama Buddha yang mulai berkembang di Tiongkok pada masa Kaisar Ming dari Han.  Kaisar Ming mengutus delegasinya ke India untuk mencari ajaran Buddha, setelah ia bermimpi mengenai sosok yang diyakini sebagai Buddha.  Delegasi tersebut berhasil membawa teks-teks keagamaan dan dua orang Biksu asal India bernama Kasyapa Matanga (Jia Yemoteng) dan Dharmaratna (Zhu Falan) ke Tiongkok.  Selain itu, delegasi tersebut juga membawa kabar bahwa di India pada tanggal 15 bulan 1 penanggalan lunar merupakan hari yang baik untuk melakukan puja bhakti kepada Buddha.  Pada saat itu semua biksu akan menyalakan lampu mentega untuk menghormati Relik Buddha.  


Catatan Tiongkok tidak merinci momen apa yang dirayakan pada hari yang baik tersebut di India. Tetapi yang pasti, setiap purnama (biasanya tanggal 15 penanggalan lunar), umat Buddhis memperingati hari Uposatha (memurnikan diri atau puasa), saat umat Buddhis melakukan perenungan dan pengamalan Sila (kemoralan).  Namun ada kalanya tanggal 15 bulan 1 penanggalan lunar bertepatan dengan perayaan  Magha Puja.  Hari Magha Puja yang merupakan salah satu hari raya agama Buddha yang jatuh pada Purnama di bulan Magha (Februari).  Dengan demikian ada kemungkinan momen tersebut merupakan perayaan Magha Puja. Jejak tradisi menyalakan lampu mentega pada tanggal 15 bulan 1, juga dapat dilihat pada Festival Keajaiban (Chotrul Duchen) oleh Buddhis di Tibet hingga sekarang.  Festival Keajaiban merupakan salah satu dari 4 hari raya agama Buddha Tibet, untuk memperingati bahwa peristiwa saat  Buddha memperlihatkan keajaiban ganda. 


Tradisi ini kemudian mengalami pengembangan terutama dalam bentuknya yang disesuaikan dengan kondisi setempat.  Lampu mentega digantikan dengan lampu minyak, lilin hingga akhirnya lentera.  Secara bertahap, tradisi menyalakan lentera menjadi sebuah perayaan besar bagi masyarakat umum.  Di rumah-rumah pada masa itu, masyarakat umum akan menyalakan lentera, dupa (hio), dan mempersembahkan buah untuk menghormati Buddha.  Tradisi budaya Tionghoa dan perayaan akhir Tahun Baru Imlek berpadu dengan tradisi Buddhis (India), mempengaruhi kisah di balik tradisi menyalakan lampu mentega atau lentera yang kemudian disebut Festival Lentera. 


Tentu saja tradisi menyalakan lampu mentega yang bertepatan pada tanggal 15 bulan 1 penanggalan lunar, tidak serta merta menandakan awal terbentuknya perayaan Cap Go Meh secara keseluruhan.  Cap Go Meh yang ada saat ini terbentuk dari perpaduan kompleks berbagai tradisi dan kepercayaan.  Kini, berbagai bentuk warna lentera digunakan untuk memeriahkan perayaan Cap Go Meh yang menandakan berakhirnya perayaan Tahun Baru Imlek.


Di Ikon baru Indonesia yaitu kota Solo, untuk perayaan Cap Go Meh ini, Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka melanjutkan tradisi sebelumnya dengan menggunakan nama Grebeg Sudiro atau Festival Sudiro.  Sudiro merupakan salah satu China Town yang cukup bersejarah di Solo.


Di kota kelahiran saya sendiri yakni kota Palembang, Cap Go Meh dirayakan dengan mengunjungi Pulau Kemarau, yaitu salah satu pulau kecil atau delta yang ada di sungai Musi. Persembahyangan Cap Go Meh biasanya ramai pada hari ke-13 dan ditutup pada hari ke-15. Dahulu untuk mengunjungi Pulau Kemarau, pengunjung harus naik perahu, kapal tongkang atau speed boot, namun sekarang ini cukup menyebrangi dengan menggunakan jembatan apung dari kota Palembang.
Demikianlah sepenggal keramaian keturunan Tionghoa dan masyarakat Indonesia dalam merayakan Cap Go Meh.


Sumber : 
https://berita.bhagavant.com/2019/02/18/tradisi-dalam-cap-go-meh-ini-berhubungan-dengan-tradisi-buddhis.html

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS