Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • 100 Tahun Pelopor Kebangkitan Agama Buddha Indonesia Mahabiksu Ashin Jinarakkhita ( 23 Jan 1923 – 23 Jan 2023)

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

100 Tahun Pelopor Kebangkitan Agama Buddha Indonesia Mahabiksu Ashin Jinarakkhita ( 23 Jan 1923 – 23 Jan 2023)

Oleh : Dr. Heru Suherman Lim

Jum'at, 27 Januari 2023

MBI

“Saudara-saudara, di saat-saat yang membahagiakan ini, kita dapat berkumpul bersama-sama di atas Candi Agung Borobudur. Semoga getaran-getaran detik-detik keramat nantinya akan membawa berkah mulia bagi kita semua”.  Kata orang berpakaian putih-putih dan berjenggot. 


Hari itu, 22 Mei 1953 pukul 12 tengah hari, bulan Waisaka Purnama, tepat 2497 tahun Buddha mangkat. Candi Agung, satu dari keajaiban dunia, simbol pusaka ajaran Buddha, bernafas kembali. Lebih dari 3000 pasang mata manusia menjadi saksi. Orang  berpakaian putih-putih yang berjenggot bangkit memberi tanda dimulainya renungan luhur detik-detik Waisaka selama 15 menit. Itulah kali pertama suatu perayaan hari suci agama Buddha diperingati secara besar-besaran setelah lima ratus tahun tertidur panjang di bumi Nusantara. 
 
Siapa sebenarnya tokoh berjenggot yang berpakaian putih-putih, dengan rambut digulung ke atas itu? Ia, bersama-sama tokoh lainnya punya peran penting membangkitkan kembali Agama Buddha di Indonesia setelah lima ratus tahun terkubur di bawah puing-puing keruntuhan Majapahit. Ia adalah Tee Boan An (1923), kelak dikenal sebagai Ashin Jinarakkhita. Kemudian Tee Boan An ditahbiskan menjadi Samanera Ti Chen secara Mahayana oleh Maha Biksu Pen Ching. Dan pada tanggal 23 Januari 1954 ditahbiskan sekali lagi secara Therawada, dan sorenya diupasamda menjadi seorang Biksu oleh Mahasi Sayadaw dan diberi nama Jinarakkhita dan mendapat gelar Ashin.
 
Perjalanan dimulai
Penyebaran agama Buddha semakin berkembang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah upasaka-upasika yang ditahbiskan oleh Biksu Ashin Jinarakkhita sehingga pada hari suci Asadha bulan Juli 1955, beliau membentuk Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia/PUUI (sekarang Majelis Buddhayana Indonesia) di Vihara Buddha Gaya, Watugong Semarang. PUUI dimaksudkan sebagai wadah upasaka-upasika yg sudah mendalami ajaran Buddha dengan cukup baik dan dapat membantu Biksu dalam pelayanan umat.
 
Biksu Ashin Jinarakkhita walaupun ditahbiskan di Myanmar menurut tradisi Therawada tetapi dalam mengembangkan ajaran Buddha di Indonesia, beliau tidak pernah mencemooh tradisi lain bahkan ia selalu mengunjungi kelenteng2 yang mengikuti tradisi Mahayana dan memberikan ceramah di sana. Dan di desa-desa di Jawa ia menggunakan pendekatan sifat kebiasaan dan tradisi masyarakat Jawa dalam memberikan ajarannya. Ia membawa tradisi Therawada Myanmar tetapi tidak menutup diri dari pluralisme dan pembauran dengan tradisi yang sudah mengakar di negerinya, Indonesia.  Ia selalu mendorong umatnya untuk menggali kebiasaan yang telah ada di Indonesia.


"Galilah yang lama, sesuaikan dengan zaman dan lingkungan” begitu ujarnya. Sejak dulu kala, masyarakat Indonesia mengakui adanya “sesuatu” yang agung, yang maha besar. Sesuatu yang umum dikenal dengan istilah Tuhan. 

Ajaran Buddha sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit mengenal istilah Adi Buddha. Adi Buddha merupakan konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha yang berkembang di Indonesia di zaman itu. Ia mendorong umatnya yang cendikia untuk menggali kembali pelajaran itu, dengan mengacu pada Candi Borobudur yang merupakan kristalisasi ajaran Buddha yang diwujudkan dalam simbol-simbol dalam monumen itu. Salah satu hasil penggalian dan penelitian terhadap naskah-naskah kuno, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia.


Biksu Ashin Jinarakkhita dalam menyebarkan ajaran Buddha di Indonesia menggunakan pendekatan luwes. Ajaran Therawada ia sebarkan, ajaran Mahayana tidak ditinggalkan.  Pada akhirnya yang menentukan adalah umat sendiri, lebih cocok dengan pendekatan yang mana, Therawada atau Mahayana. Yang selalu diingatkannya sejak semula adalah para umat tidak menjadi fanatik pada satu pendekatan, dengan menganggap pendekatan lain salah atau sesat.  Pendekatan seperti ini, belakangan di Barat dikenal sebagai Buddhayana atau Ekayana.


Biksu Ashin Jinarakkhita selalu mengingatkan bahwa dalam upaya pengembangan Agama Buddha tidak dapat lepas atau berdiri sendiri serta terpisah dari upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia sebagai satu keseluruhan. Berulang kali kita diingatkan : “Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, tentunya kita juga mengemban tugas membantu evolusi bangsa Indonesia. Karena kita terjun di bidang rohani, maka peran kita adalah membantu evolusi batiniah bangsa ini ke taraf yang lebih tinggi. Kita, dalam mengembangkan agama Buddha di Indonesia, tidak hanya mengembangkan agamanya saja, melainkan juga berupaya agar bagaimana bisa membantu evolusi rohani bangsa kita. Sehingga nantinya, kelahiran-kelahiran yang ada di sini,  kualitasnya semakin lama semakin baik. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak hanya menjadi semakin berkualitas di bidang fisik saja melainkan juga di bidang rohani”.

Pada tahun 1976, Dalai Lama berkunjung ke Indonesia dan sempat bertemu dengan Biksu Ashin Jinarakkhita.  Mereka bercakap-cakap dengan akrabnya. Dalai Lama bertanya, “To what sect of Buddhism do you belong?” (Dalam sekte Buddhis yang mana Anda tergabung?). Biksu Ashin Jinarakkhita memberikan jawaban yang sangat mengejutkan Dalai Lama sebagai berikut “I am just a servant of the Buddha” (Saya hanyalah Pelayan Buddha). 

Menjelang Senja
Hari-hari berikutnya dijalani oleh Biksu Ashin Jinarakkhita di wihara Sakyawanaram, Pacet. Pagi-pagi pukul tiga atau setengah empat, ia sudah keluar dari kamarnya yang kecil, berkeliling kompleks wihara yang terletak di lembah itu, memasang hio dan lilin di banyak tempat. Hampir setiap hari Jumat datang mengunjungi beliau. Dengan ramah dan selalu tersenyum, ia menerima umat yang datang bergantian dari pagi hingga sore. Walau tidak setiap hari ia dapat ditemui karena harus memenuhi undangan umat Buddha bahkan sampai ke luar pulau.

Menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 18 April 2002, jasad Biksu Ashin Jinarakkhita dalam posisi bermeditasi dipindahkan ke Wihara Ekayana Grha di Jakarta, dan ditempatkan pada sebuah peti pada malam hari itu. Petinya ditempatkan di sana selama 8 hari, dan menerima penghormatan sekitar 40.000 orang termasuk mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden Hamzah Haz, dan para pemimpin agama lain. 

Pada tanggal 26 April 2002, peti jenazah meninggalkan Jakarta menuju Bandar Lampung, di mana sekitar 15.000 orang berkumpul untuk memberikan hormat kepadanya, dan pada pagi hari berikutnya, jasadnya dikremasikan.
 
(dikutip dari buku ‘Menabur Benih Dharma di Nusantara’ – Edij Juangari – Karaniya 1995)

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS