Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Pecahkan Gelasmu, Jangan Melekat!

U.P. Mitta Kalyani Irma Gunawan

Senin, 31 Oktober 2022

MBI

Seorang sahabat menceritakan pengalamannya saat melakukan pelayanan Berbagi Dharma, dimana ada seorang umat yang, belakangan diketahui memiliki banyak gelar akademik, memberikan bantahan kepada dirinya.  Sahabat ini enggan meneruskan perdebatan karena paham bahwa orang yang pandai ini tentu merasa lebih hebat daripada dirinya yang bukan dari kalangan akademik. Jadi sahabat yang bijak ini memilih senyum dan diam saja tidak melanjutkan dengan sanggahan.


Kisah lain, seorang Guru saat berceramah, ada umat bertanya sesuatu dan seperti umumnya orang beranggapan, bahwa  Guru tersebut  pasti mengetahui banyak hal dan punya jawaban. Namun beliau menjawab dengan santai, “Saya tidak tahu”. Semua yang mendengar tentu terkejut dan menganggap Guru itu sedang bercanda atau menguji kesabaran atau bahkan pura-pura tidak tahu.  Guru itu kembali menegaskan ,”Saya memang tidak tahu“.   

Dari jawaban Guru yang sangat jujur tersebut, penulis melihat ada sesuatu yang menarik, Guru ini sedang praktik melepaskan keegoannya.  Beliau tidak mau sekadar gelasnya terlihat berisi, tapi kosong.  Guru ini hanya menggunakan gelas dengan apa adanya, apa yang dimilikinya tanpa melekat pada wadah maupun seberapa banyak takaran isinya.

Melihat apa adanya, mengamati apa adanya , menerima apa adanya dan menjawab apa adanya yang ia tahu.  Pikiran dan perasaannya tidak akan mudah terganggu karena faktor di luar dirinya maupun di dalam dirinya.  Tidak perlu terganggu akan ejekan umat atau murid yang mungkin akan menganggapnya tidak terlalu hebat.  Tidak perlu menilai diri terlalu hebat juga karena akan ada diri lain yang menganggap dirinya lebih hebat lagi. 

Sahabat saya yang lain juga pernah bercerita mengenai ketidak sukaannya saat suatu hari ke wihara dan melihat siapa penceramahnya.  Karena ia  pernah mendengar cerita kurang baik tentang si penceramah tersebut, bahkan ia juga merasa jauh lebih menguasai materi yang dibawakan si penceramah ini. Alhasil sepanjang mendengarkan sharing Dharma itu, yang terjadi adalah sibuknya pikiran, karena kesal, tidak suka, meremehkan, aneka asumsi, persepsi dan pikiran liar yang terus muncul.


Bukankah sebaiknya cukup mendengar atas sesuatu yang baik disampaikan orang lain, memilah yang patut diterima, mengambil hikmah atau manfaatnya dan melepaskan hal-hal yang tidak berkenan?  

Kadang merasa diri, telah memahami banyak teori,  memiliki banyak pengetahuan, mahir menghapal banyak sutra, namun prakteknya berbalik dari pemahaman dan kepandaiannya. Tidaklah mudah bagi seseorang yang bersikeras atas kebenaran menurut persepsinya, untuk dapat mendengar yang sesungguhnya.


Apakah karena terlalu penuh berpikir atau lelah berpikir?  Ibarat gelas yang  bila dipaksakan terus diisi maka air menjadi tumpah, seperti pikiran pun yang sudah penuh akan menjadi “nakal”.  Si pikiran akan terus sibuk berpikir dan berbicara.  Sebaliknya seringkali kita mendengar bahwa untuk belajar sesuatu, seseorang sebaiknya mengosongkan gelas (pikirannya) agar lebih mudah menerima hal-hal baru. Namun tidaklah mudah juga untuk mengosongkan gelas tersebut apabila kesombongan masih ada dalam diri.

Gelas kosong yang dipaksa kosong tanpa memahami makna kekosongan itu sendiri seperti gelas kosong yang sombong dan tetap terus berusaha memperdengarkan bahwa masih bisa bersuara.  Gelas isi penuh dan gelas kosong adalah visualisasi nyata yang terlihat , tapi yang terpenting adalah sadari pikiran sendiri, lenyapkan kesombongan sebagai salah satu kekotoran batin.

Buddha bersabda : “Apakah lima belenggu itu?  Keinginan terhadap bentuk, keinginan terhadap yang tidak berbentuk, kesombongan , kegelisahan,  dan ketidaktahuan.” (AN 10.13 : Samyojana Sutta)

Pecahkan gelasmu, jangan melekat !

 

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS