Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Akan Punahkah Agama Buddha Di Indonesia? Bagian-2

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Akan Punahkah Agama Buddha Di Indonesia? Bagian-2

U.P. Sasanaviriya Sugianto Sulaiman

Jum'at, 22 September 2023

MBI

Sebagaimana tulisan pada bagian pertama artikel ini, penulis mengutip Guru Gembul yang menyampaikan sinyalemen bahwa Agama Buddha di Indonesia akan punah karena tidak berTuhan Yang Maha Esa, tidak dilengkapi hukum yang kuat di bidang kehidupan seperti warisan, perkawinan, dan tata peribadatan, serta karena pengaruh sosiologi baik dari atas yaitu pihak yang berkuasa maupun dari umatnya sendiri serta dari umat-umat lain.


Terhadap sinyalemen yang pertama, maka kita bisa menjawabnya, bahwa justru karena ketiadaan sosok Tuhan maka kita lebih fleksibel menterjemahkan ke-Esaanya. Prinsip “Manunggaling Kawula Gusti” dalam filosofi orang jawa merupakan prinsip yang sangat Buddhistik. Prinsip ini tidak beda dengan prinsip seseorang bisa mencapai tingkat kesucian Arahat atau Buddha. Untuk prinsip Tuhan Yang Maha Esa, mungkin kita tidak perlu khawatir yang berlebihan karena Majelis Buddhayana pun menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Tuhan yang bersifat sosok atau makhluk, tetapi sifat-sifat Ketuhananya, karena itu Majelis Buddhayana Indonesia menggunakan kata Ketuhanan bukan Tuhan.

Untuk sinyalemen yang kedua, tampaknya seperti sinyalemen yang pertama, kita menyerahkan hubungan dengan negara dan masyarakat diatur oleh hukum yang berlaku. Perkawinan atau waris atau hubungan antar manusia, maka Buddhisme mempercayakanya kepada hukum setiap negara, dengan demikian tidak ada konflik antara Agama Buddha dengan Hukum Negara dimanapun Agama Buddha eksis. Yang penting Hukum Negara dapat kita gunakan dalam kehidupan kita sepanjang hal tersebut bisa kita adaptasi. Sebagai contoh, Hukum Perkawinan Indonesia menganut Prinsip Monogami, bukan Poligami. Hukum warisnyapun didasarkan pada Hukum Waris Barat atau Hukum Perdata Barat atau yang disebut dengan Burgelijk Wetboek, yang mempersamakan hak laki-laki dengan Perempuan sama rata dan sama besarnya. Jadi tidak akan ada kekhawatiran hal tersebut dapat menyebabkan kepunahan Agama Buddha. Apalagi sekarang hukum di jaman destruktif ini terjadi perubahan yang cukup dramatis, misalnya saja di dunia maya atau online dan sebagainya.

Yang mengkhawatirkan penulis adalah sinyalemen ketiga, dimana faktor umat dan sosiologi sangat menentukan jumlah Umat Buddha di Indonesia. Sebagai contoh, umat Buddha walaupun rajin ke wihara atau ikut kebaktian, menerima baksos dan bahkan mengikuti Visudhi, namun KTP nya tetap beragama lain, tidak menyebutkan dirinya beragama Buddha. Hal ini bisa jadi dikarenakan umat Buddha merasa malu beragama Buddha karena agamanya dianggap kuno, tidak menarik dan konservatif. Umat yang kebaktian menggunakan pakaian yang sederhana dan bahkan cenderung seadanya, sehingga kesan kumuh dan lusuh tercipta di sana. Apalagi umumnya di wihara umat duduk di lantai dan tidak menggunakan alas kaki.  Belum lagi, umat Buddha tidak disiplin, kalau datang maunya duduk di belakang, sehingga bagian belakang penuh tapi bagian depan kosong melompong.  Ketika orang datangnya terlambat, ia tidak dapat lagi duduk, karena tempat duduk di belakang penuh sehingga ia harus duduk di depan, dan ini dapat mengganggu upacara yang sedang berlangsung. Banyak juga yang pulang atau berdiri di belakang sehingga bagian belakang menjadi bertumpuk-tumpuk, namun anehnya mereka tidak mau di suruh ke depan.

Untuk alas kaki pada umumnya wihara menyediakan rak sepatu, tetapi boro-boro rak tersebut dipakai, umat lebih senang meletakan sendal dan sepatunya di depan pintu, sehingga sendal dan sepatunya berserakan di mana-mana bagaikan ikan yang berenang kesana dan kemari, sehingga menyulitkan orang yang akan memasuki vihara.  Belum lagi jika terjadi kehilangan atas sepatu atau sendal yang mahal, lalu dituntut ganti rugi oleh umatnya, bukankah ini akan menyusahkan pengurus/panitia?

Hal lain yang paling sering terjadi di wihara ialah Dhammadesana yang disampaikan kepada umat terlalu tekstual  dan kerap mengambil ilustrasi di masa Buddha, artinya di masa 2.600 tahun yang lalu. Apa relevansinya? Misalnya ceramah yang disampaikan oleh pimpinan upacara mengenai persembahan jubah.  Selalu diceritakan bahwa Sang Buddha menolak dipersembahkan Jubah oleh Mahapajapati Gotami yang dengan susah payah menjahit Jubah tersebut, tetapi Sang Buddha memintanya dipersembahkan kepada Sangha, namun tetap diterima oleh Sang Buddha. Lalu apa relevansinya dengan kehidupan modern kita?  Sekarang Jubah berlimpah-limpah di hampir setiap vihara. Biksu atau Biksuni tidak banyak, namun Jubah menjadi berlebih-lebihan sehingga Jubah banyak dibuang karena digigit tikus atau dimakan rayap atau rusak karena kerendam atau kehujanan. Celakanya, Dhammadesana yang sama di ulang-ulang padahal tidak relevan lagi.

Umat menghadapi persoalan yang tidak sederhana, misalnya kesulitan membiayai Pendidikan yang mahal atau menderita sakit serius tapi kesulitan keuangan, dikerjar-kejar debcollector karena gagal bayar cicilan, serta persoalan-persoalan lainya yang mendera sehingga tidak jarang umat ada yang bunuh diri atau pindah ke agama lain, karena dalam Agama Buddha mereka tidak terlayani dengan baik. Belum lagi dalam kehidupan kita yang modern ini, banyak pula godaan, misalnya godaan main judi online yang kita kenal dengan nama Dilon atau Slot atau berbagai jenis judi lainya yang mengepung umat. Godaan akan kaya dengan investasi-investasi bodong serta flexing-flexing yang membuat umat kita menjadi tertarik sehingga uangnya habis di rampok. Bagaimana dengan Pandita-Pandita kita? Apakah mereka mampu menghadapi fenomena modern di atas?  Dan apakah Majelis dapat menyiapkan pemuka-pemuka agama kita termasuk biksu dan biksuni serta pandita agar membawakan Dhammadesana yang relevan untuk kehidupan modern?

Menurut Master Chin Kung, ceramah atau Dhammadesana harus mengandung Sila artinya umat didorong untuk berlatih moralitas, agar mereka dapat mencapai Samadhi atau ketenangan batin, sehingga umat kita bisa menjadi bijaksana.   Umat didorong untuk tidak Lobha agar dia tidak mencuri atau berbuat hal-hal yang merugikan dirinya sendiri seperti main judi, baik judi onsite seperti main dadu atau ke casino atau judi togel atau judi online termasuk slot dan sebagainya.   Agar mereka tidak Lobha maka lakukanlah Samadhi, misalnya membentuk kelas-kelas meditasi, kelas Liamkeng, kelas yang menjaga ketenangan batin umat sehingga menimbulkan Samadhi.   Jika Samadhi dapat dipertahankan melalui kelas-kelas meditasi atau Liamkeng, maka diharapkan umat dapat mencapai Kebijaksanaan atau Panna.  Tentu semua ini memerlukan perhatian, tindakan dan keterlibatan semua pemuka agama atau pengurus wihara dan majelis, baik dari tingkat pusat, provinsi, cabang, kabupaten/kota, maupun yang paling penting ialah tingkat akar rumput yang disebut Pasamuan Umat.  Apakah kita sudah melakukanya?  

Punahnya Agama Buddha sebagaimana yang sudah kami jelaskan pada bagian-1, bukan fenomena yang baru tetapi merupakan siklus pengulangan belaka. Di jaman Sriwijaya, Agama Buddha punah karena penyakit malaria atau serangan-serangan dari Champa, (sekarang Kamboja). Di jaman Mataram Kuno memang sempat mencapai puncaknya yaitu berdirinya Candi Borobudur sekitar abad ke-7, namun kemudian punah karena meletusnya Gunung Merapi sehingga Kerajaan Buddha pindah ke Jawa Timur lalu lahirlah Kerajaan Siwa Buddha di abad ke-13 tetapi kemudian juga hancur di abad ke-15 yaitu di jaman Majapahit. Agama Siwa Buddha punah seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat perang saudara yang berlarut-larut antara Bhre Wirabumi (anak selir dari Prabu Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana (mantu dari Prabu Hayam Wuruk dengan Ratu Kusumawardhani) yang kemudian kita kenal dengan Perang Paregreg tahun 1404-1406.  Perang ini menghancurkan bukan hanya Kerajaan Majapahit, tetapi juga Agama Buddha.

Kebangkitan Agama Buddha oleh Mahabiksu Ashin Jinarakkhita dan perkembangan yang ada saat ini tidak menjamin Agama Buddha tidak akan kembali punah di Indonesia. Indikasi punahnya Agama Buddha sudah mulai Nampak di depan mata. Menurunnya persentase jumlah umat secara berkelanjutan dari yang sebelumnya pernah mencapai 2% di abad ke 20 tapi sekarang menjadi 0,75%, sungguh merupakan keprihatinan kita bersama.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS