Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

SEPTEMBER & HARAPAN

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 15 September 2023

MBI

“Di ujung kemarau panjang, yang gersang dan menyakitkan, kau datang menghantar berjuta kesejukan. Kasih, kau beri udara untuk nafasku, kau beri warna bagi kelabu jiwaku.. September ceria, september ceria, september ceria, milik kita bersama..   Tatkala butiran hujan, mengusik impian semu, kau hadir di sini di batas kerinduanku.. Kasih, kau singkap tirai kabut di hatiku, kau isi harapan baru untuk menyongsong masa depan bersama.. September ceria, september ceria, september ceria, milik kita bersama.”


Syair lagu yang berjudul September Ceria yang dipopulerkan oleh penyanyi legendaris kita Vina Panduwinata, si Burung Camar, di tahun 1982 ini sering sekali diputar setiap bulan September datang. Selalu ada kerinduan akan lagu ini, bukan hanya terhadap lagunya yang memang enak didengar, tetapi juga makna di balik syair lagunya itu sendiri. Ada kerinduan akan datangnya musim hujan yang menghapus kemarau panjang, walau sampai tulisan ini dibuat, di pertengahan September, masih belum mulai tanda-tanda musim hujan akan segera datang, bahkan di beberapa tempat malah terjadi kebakaran hutan yang hebat, yang biasanya terjadi di bulan Juli dan Agustus.  

September adalah bulan yang spesial bagi kita yang tinggal di Indonesia, beda dengan belahan dunia lain yang mungkin malah sedang memasuki musim gugur menuju musim dingin.Bulan September di Indonesia adalah awal dari perubahan musim panas ke musim hujan.  Awal sebuah harapan baru, dari keadaan yang kering dan panas ke kondisi segar dan cerah, walau kita tentu juga tahu kalau hujan tidak selamanya baik-baik saja, terkadang juga sering membawa bencana dan malapetaka yang tak kalah hebatnya dengan kemarau.

Menurut Mahabiksu Thich Nhat Hanh di dalam bukunya Peace is Every Step, harapan memang adalah sesuatu yang penting, karena ia mampu membuat saat sekarang ini menjadi lebih mudah untuk dihadapi. Jika kita percaya akan hari esok yang lebih baik, maka kita akan bisa menghadapi kesulitan hari ini. Tapi menurut Beliau lagi, hanya itu saja kebaikan dari Harapan, selebihnya kuranglah bisa dikatakan baik. Karena banyak sekali justru karena mendambakan atau mengharapkan sesuatu yang baik di masa depan, malah tidak sepenuhnya mengeluarkan kekuatan dan kemapuan kita di saat ini. Harapan bahkan menjadi penghalang kita, karena kita terikat dengan harapan kita akan hari esok, kita meyakini bahwa sesuatu yang baik akan terjadi di masa depan, akan ada kedamaian di sana, atau ada “kerajaan surga”.

Perbadaban Barat sangat menitik beratkan pada gagasan tentang HARAPAN, yang cenderung mengorbankan masa sekarang. Harapan adalah sesuatu untuk masa depan. Ia tidak akan mampu membantu kita untuk menemukan kebahagiaan, kedamaian di masa sekarang. Banyak agama yang berdasarkan pada harapan, dan mengajarkan sesuatu untuk mengindari atau tidak bersandar pada harapan, mungkin akan menjadi penolakan besar di masyarakat.

Harapan bisa menjadi rintangan untuk kita, jika kita menghabiskan energi untuk berharap, yang membuat kita tidak mampu membawa diri kita sepenuhnya kepada masa sekarang. Jika kita mengarahkan kembali energi itu menjadi sebuah kesadaran akan apa yang sedang terjadi di saat sekarang, kita akan mampu membuat sebuah terobosan dan menemukan kebahagiaan dan kedamaian tepat di masa sekarang, di dalam diri kita dan segala sesuatu yang ada di sekeliling kita.

Penulis sependapat dengan pandangan ini. Kita memang sering sekali terjebak akan ilusi masa depan, padahal masa depan itu sesungguhnya tidaklah eksis. Sebagai contoh, penulis sering menyampaikan ini di kesempatan berbagi dharma, bahwa dulu penulis sering membaca di spanduk atau stiker di warung dan kendaran umum yang berbunyi, “Hari ini Bayar, Besok Gratis”. Sempat penulis mempercayai akan hal itu, bahwa besok akan bisa makan gratis di restoran tersebut. Tapi apa yang terjadi? Penulis tetap harus membayar makan di restoran itu, karena ketika penulis datang lagi ke restoran yang sama keesokan harinya, ternyata hari esok itu sudah menjadi hari ini. Dan karena dia berubah menjadi hari ini, maka penulis harus membayar lagi makanannya, dan baru besok yang gratis. Dan apakah ada hari esok yang mendapatkan makanan gratis itu, ternyata tidak pernah ada, selalu kita akan bertemu dengan hari ini, tidak pernah hari esok. Ini yang penulis sebut sebagai Ilusi Hari Esok. Hari esok itu sesungguh tidak pernah ada, dia hanya muncul di ilusi kita, berupa harapan atau malah ketakutan dan kecemasan. Dia tidaklah nyata, dan tidak pernah akan nyata. Kita tidak pernah akan bertemu dengan yang namanya Hari Esok.

Jadi teman-teman semua. Mari kita fokuskan hidup kita di saat ini, di sekarang. Lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan saat ini, dan tidak perlu memimpikan atau mengkhawatirkan hari esok. Kalau kita melakukan yang terbaik hari ini, maka hari esok kita pastinya akan baik pula. Seperti kata Buddha: “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu atau membangun harapan di masa depan; Karena masa lalu telah ditinggalkan dan masa depan belum dicapai; Melainkan lihatlah dengan pandangan terang, tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini” (Bhaddekaratta Sutta, M.N. 131).

Sumber Pustaka :
Peace is Every Step, Thich Nhat Hanh, 1991

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS