Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Rejoice

U.P. Nyanachatta Harpin Rifai

Jum'at, 11 Agustus 2023

MBI, Sagin, Sekber Yabuddhi, Wulan Bahagia, WBI, SIDDHI, Pemuda Buddhayana

Kalimat sederhana ini sangat sakti. Namun lupa atau susah diaplikasikan. Saya pertama disadarkan ini oleh seorang sahabat, sebut saja namanya sis J. Ceritanya waktu itu, saya menghadiri acara product knowledge perumahan elit di Serpong. Nah, bos dan pejabat tinggi perusahaan ini adalah orang beragama K. Meskipun acara ini untuk umum, dimana kantor agen yang datang multi-religion, tetap saja ada acara doa yang memakai cara agama itu.


Saya yang non K tanpa sadar menggerutu dalam hati.  Ini kan bukan acara intern mereka, untuk umum dan bukan acara keagamaan. Kok bisa-bisanya ada sesi doa seperti didalam rumah ibadah mereka.  Yah setidaknya menurut saya, kalau untuk umum minimal ada kalimat “mari kita berdoa sesuai agama dan keyakinan masing-masinglah”, bukan cuma doa ikutin agama dia saja.

Saat menemani sis J akad penjualan ke kantor apartemen kalibata city karena aku berhasil menjual unitnya, saya menceritakan kekesalan saya. Mula-mula ia mendengar cukup serius cerita saya yang kesal dengan acara agent gathering  di Serpong.

"Kesalnya kenapa?" Tanyanya serius. Bertuturlah saya tentang kejadian di atas. Diluar ekspetasi, bukannya mendukung alasan kekesalan saya, dia justru tertawa dan berkata "kamu kurang rejoice". Hah? “Apa pula itu, kok kayak merek shampo saja” kataku dalam hati setengah bingung.

"Seperti yang diajarkan Thich Nhat Hanh di Eropa" katanya. Thich Nhat Hanh adalah seorang biksu Zen, Vietnam, penulis, penyair, aktivis HAM, pendiri Plum Village yang sangat populer di Barat, nominator penerima Nobel perdamaian.

Waktu itu saya belum mengerti maksud sis J ini?  Yah sudahlah hidup terus berlanjut.  Sampai ketika ada waktu saya mencari tahu makna kata Rejoice yang artinya turut bersukacita, turut bergembira, turut berbahagia. Atau di Buddhis dikenal di istilah turut bermuditacitta,  pengembangan pikiran turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain.

Mudita citta, perasaan gembira ketika melihat orang lain berbuat baik, adalah salah satu dari empat sifat mulia, Catur Brahmavihara. Brahma merujuk pada 'yang terbaik', 'yang pertama', 'yang paling utama' atau 'yang luhur'. Sementara Vihara diterjemahkan sebagai 'tempat tinggal', 'tinggal' atau 'rumah', 'kediaman', sering juga diterjemahkan 'Kediaman Yang Luhur'.

Brahma vihara terdiri dari empat pilar, yaitu: Metta (mencintai kebaikan dan kebajikan); Karuna (kasih sayang); Mudita (sukacita simpatik dan empati); dan Upekkha (keseimbangan batin).  

Metta, Cinta tanpa pamrih. Nyatanya hampir semua cinta berpamrih. Dalam hal ini cinta seorang ibu adalah contoh paling baik, unlimited dan unconditional. Metta adalah cinta tak bersyarat.

Karuna, belas kasihan pada yang tidak bahagia.  Perasaan bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain.  Buddha mengajarkan rasa bahagia ditemukan dalam diri, pengingat terhadap penderitaan diri sendiri untuk merasakan belas kasihan bagi orang-orang yang tak bahagia, dan berharap penderitaan orang lain bisa berhenti.

Mudita. Nah ini yang kita bahas. Rejoice, turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Sama halnya dengan Metta, Mudita mendorong kita menemukan hal baik pada orang lain dan turut merayakannya. Tidak dilihat sebagai kompetisi, atau memicu kecemburuan atau frustrasi dalam diri.

Upekkha adalah keseimbangan batin. Tidak melekat dan berpuas diri, sehingga kita bisa melihat realita setiap situasi, tak terperangkap emosional dan merasakan penderitaan yang tak terhindarkan.  Upeka mendorong kita objektif, memandang semua orang setara, terlibat dalam setiap percakapan dengan minat yang sama, dan membuat setiap momen baru sama pentingnya dengan momen terakhir.

Alamak, Catur Paramita ini gampang diucapkan susah dilaksanakan. Dalam hal Mudita, bagaimana mungkin  saya yang sedang menderita bisa turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain? Bagaimana mungkin saya yang gagal bisa turut berbahagia melihat kesuksesan orang lain?

Hidup kita, dunia kita dipenuhi perbedaan, persaingan yang tak jarang melahirkan amarah dan kebencian mendalam. Tanpa sifat Mudita, turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, kita akan selamanya menjadi orang yang menderita. Bersedih atas keberhasilan, kebahagiaan orang lain. Contoh sederhananya, kayak saya ini, merasa teraniaya saat itu, ketika ada yang beribadah memuja Tuhan mereka.  Mereka yang berdoa kenapa saya kepanasan yah, jangan-jangan saya setannya.

Dasar bocah gemblung. Ketika saya bisa rejoice, turut berbahagia atas kebahagiaan mereka bukankah penderitaan saya selesai?  Makasih temanku sis J atas pencerahannya.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS