Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Memahami EGO

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 12 Mei 2023

MBI

Alkisah ada seorang siswa bertanya kepada Buddha, “Saya Ingin Bahagia”, bagaimana caranya?  Lalu Buddha menjawab, pertama buanglah “Saya” karena itu Ego, lalu buanglah “Ingin” karena itu kemelekatan, maka yang tertinggal adalah “Bahagia”.  


Apakah anda pernah membaca cerita ini?  Mungkin sebagian besar kita pernah membaca narasi singkat ini.  Terlepas dari kebenaran sumber cerita di atas, menarik untuk kita bahas apakah benar Buddha mengajarkan kita untuk membuang/menyingkirkan Ego kita.

Penulis tertarik membahas topik ini, karena banyak dari kita termasuk penulis, yang  belum tahu bahwa tanggal 11 Mei, kemarin, diperingati sebagai Hari Kesadaran Ego Sedunia / World Ego Awareness Day (WEAD). Sejarah Hari Kesadaran Ego Sedunia yang pertama muncul pada tahun 2018 (belum terlalu lama) bertujuan membantu mereka yang menderita kasus egoisme tingkat lanjut untuk bisa belajar menghadapi dunia dari perspektif yang lebih rendah hati.  

Ego VS Egois
Banyak orang menggunakan kata “ego” secara salah. Ketika kita berkata, “Kamu ego sekali”, kita mengartikan ego sama seperti egois. Padahal kata ego tidaklah demikian artinya. Menurut KBBI,  Ego artinya : 1 aku; diri pribadi; 2 rasa sadar akan diri sendiri; 3 konsepsi individu tentang dirinya sendiri, sementara Egois artinya : orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri.

Menurut Sigmund Freud, ada 3 tahapan Ego, yakni Id, Ego dan Superego. Yang paling bawah adalah Id, yaitu sebuah dorongan agresifitas yang serupa dengan yang dimiliki hewan. Dorongan yang membuat manusia bisa berpikir pendek untuk memenuhi hasratnya. Biasanya dorongan agresif ini cenderung ke arah yang negatif. Sebaliknya yang paling tinggi disebut Superego, yakni dorongan untuk bisa diterima oleh lingkungan mereka. Superego yang ada di diri kita biasanya mengarahkan diri kepada norma sosial / keabadan. Akan tetapi baik Id dan Superego tidak bisa ada yang lebih dominan. Apabila Id cenderung mendominasi pikiran, kepribadian seseorang akan condong untuk berbuat hal yang impulsif, dan bahkan bisa mencelakai orang lain karena ketidakpedulian pada tatanan dan norma. Namun juga tidakakan baik kalau Superego terlalu dominan. Freud percaya seseorang yang didominasi oleh Superego akan menjadi seseorang yang mengarah kepada kemunafikan.

Oleh sebab itu menurut Freud, orang harus mampu mengendalikan keduanya. Di sinilah ego yang berada di tengah berperan. Ego mengendalikan agar Id dan Superego tidak lebih dominan dari yang lainnya. Dalam pemahaman seperti ini, Ego tentu saja berbeda dengan Egois. Ego adalah pengendali dari kerja kepribadian yang menjadi pembeda antar manusia. Manusia bisa memiliki kepribadian yang berbeda sebab terdapat dinamika di antara Id dan Superego. Ego bekerja berdasarkan prinsip keseimbangan. Mengatur kapan harus marah (mengeluarkan karakter Id) dan kapan harus patuh pada peraturan (mengeluarkan Superego).   

Narsis, Narsisme dan Narsisme Spiritual
Apakah teman-teman mengenal istilah Narsis? Narsis atau Narsisme diambil dari cerita seorang pemuda yang bernama Narsissus yang terlalu terobsesi dengan ketampanannya sendiri, sehingga berakhir tragis tenggelam di kolam karena jatuh cinta dengan bayangannya sendiri. Istilah Narsis kemudian dikenal dan dialamatkan kepada orang-orang yang terlalu “High”, memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, yang merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, dan cenderung untuk merendahkan orang lain. Fenomena ini terjadi kepada orang yang merasa memiliki kelebihan jauh dibanding orang lain. Merasa lebih hebat dari orang lain bisa muncul dalam banyak hal, Harta kekayaan, Ilmu/kepintaran, Fisik (ketampanan, kecantikan, atau tubuh yang sexy atau berotot), merasa punya Keturunan ningrat, dan lain sebagainya.

Jadi tidak heran ada orang yang semakin kaya jadi semakin sombong, suka pamer kekayaan.  Ada pula yang semakin pintar juga begitu, yang bergelar  Doktor/S3 sering merasa paling pintar ketimbang yang lain.  Yang punya fisik rupawan apalagi, narsisnya mirip seperti Narsissus, dan lain sebagainya. Bahkan belakangan muncul istilah baru “Narsisme Spiritual”.  Banyak Guru-guru spiritual, para pemuka agama juga menjadi Narsis. Merasa lebih “Suci”, lebih paham ajaran, lebih berpengalaman dari orang lain. Apakah ada di komunitas kita? Silahkan dicari tahu sendiri.  Dan ini sepertinya, sebuah topik yang menarik untuk kita bahas terpisah.

Agama Buddha dan Ego
Apa hubungan antara ajaran Buddha dan ego? Buddhisme dan ego adalah dua istilah yang hampir tidak dapat dipisahkan. Siapa pun yang ingin masuk ke ajaran Buddha, salah satu pokok pertama yang perlu mereka bahas adalah ego. Siapapun yang ingin mencari tahu tentang ego, maka salah satu doktrin filosofis dan psikologis terdalam yang akan mereka temukan adalah ajaran Buddha. Tetapi Buddhisme adalah salah satu dari sedikit arus psikologis atau filosofis/pandangan yang menyangkal keberadaan ego yang melekat.
 
Dari saat kita dilahirkan, ego kita mulai berkembang. Segala sesuatu dari kita dan segala sesuatu yang kita identifikasi membentuk ego kita. Kebangsaan kita, etnisitas kita, keluarga, kelompok, kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya membentuk identitas kita. Kita menggabungkan semua hal ini dan mengubahnya menjadi "diri" kita. Namun ajaran Buddha memberi tahu kita bahwa tidak demikian yang terjadi. Menurut Buddhisme, ego adalah konsepsi yang keliru tentang "diri" sebagai entitas yang berdiri sendiri (Atta). Ini adalah pandangan "diri" yang muncul dari pikiran yang belum memahami konsep kekosongan (Anatta/Sunyata). Seperti yang dinyatakan oleh Shantideva dalam buku Bodhisattvacharyavatara: "Ketika makhluk biasa melihat fenomena, mereka menganggapnya nyata dan bukan khayalan.”

Ketika kita melihat diri kita ini statis, tidak berubah-ubah, kita berpegang pada ego kita dan kita menjadi melekat padanya. Ego dan kemelekatan berjalan beriringan. Ketika kita mengatakan "Seperti inilah saya", itu menunjukkan seberapa dangkal pemahaman kita tentang perubahan itu sendiri. Tapi, ketika kita membebaskan pikiran dari identitas statis, maka kita terbuka untuk berubah dan keadaan eksternal.  "Jika Anda bebas dari kemelekatan, Anda tidak memiliki perasaan bahwa sesuatu benar-benar milik Anda." -Lama Yeshe-

Hui Neng dan Debu yang melekat
Diceritakan pada saat Hongren (sesepuh Zen kelima) ingin mencari penerusnya. Dia melakukan perlombaan menulis gatha, untuk menilai seberapa dalam pemahaman murid-muridnya akan Zen. Sebagai biksu kepala, Shenxiu sangat dihormati dan dibawah tekanan besar untuk menghasilkan sebuah gatha yang akan memenuhi syarat dia sebagai patriak/sesepuh berikutnya, dan lahirlah sebuah gatha yang berbunyi:

“Tubuh ini adalah Pohon Bodhi,
Batin ibarat cermin yang ditopang berdiri cemerlang.
Gosoklah cermin itu dengan rajin sepanjang waktu,
Jangan biarkan debu kilesa menempel."

Tetapi Hui Neng tidak sepakat dengan gatha tersebut. Untuk menjawab gatha Shenxiu itu Huineng, yang akhirnya terpilih menjadi sesepuh keenam dan terakhir dalam tradisi Zen, yang buta huruf, meminta petugas menulis gatha di dinding, di samping gatha milik Shenxiu, yang berbunyi:

“Bodhi pada awalnya tidak memiliki pohon.
Cermin terang juga tidak berdiri.
Pada dasarnya tidak ada hal yang tunggal.
Di mana debu dapat melekat?”
Selamat Hari Kesadaran Ego Sedunia. Ego bukan untuk disingkirkan, tapi untuk disadari dan dipahami.


Daftar Pustaka :
Mengenal Id, Ego, dan Superego dalam Diri Manusia, Harus Seimbang Lho! (idntimes.com)
What's the Relationship Between Buddhism and the Ego? (exploringyourmind.com)

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS