Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

NOLONG AJA KOK REPOT?

U.P. Mita Kalyani Irma Gunawan

Jum'at, 28 April 2023

MBI

Apa yang ada dalam benak kita saat seseorang meminta pertolongan kepada kita?  Tentunya banyak pertimbangan yang akan membuat kita siap memberikan pertolongan atau bahkan menolaknya.  Faktor-faktor yang langsung terpikir biasanya adalah seberapa dekat hubungan kita dengan orang tersebut,  apakah orang tersebut layak dibantu, apakah kita mampu untuk membantunya sesuai kapasitas kita atau bahkan apakah saat itu kita sedang dalam keadaan “mood” yang baik atau buruk.


Siapa yang paling mudah membuat kita mau (tidak mau) untuk menolongnya?  Kebanyakan orang akan menjawab, keluarga kita sendiri, lalu berikutnya ada sahabat atau orang-orang yang dekat dengan kita.  Biasanya, atas dasar rasa sayang dan cinta, kita akan terus menolong orang itu, yang mungkin anak kandung atau saudara kandung kita sendiri, yang kita merasa, itu adalah tanggung jawab seumur hidup kita.  Sedangkan bila yang ditolong adalah pasangan hidup kita, kita mungkin merasa adalah kewajiban kita sebagai bagian dari komitmen selama masa perkawinan kita. 

Namun terkadang, dalam beberapa kejadian, kita secara sengaja ataupun tidak sengaja justru merusak mentalitas orang yang kita tolong. Tidak peduli seberapa berat masalahnya dan seringkali kita harus menolong orang-orang terdekat ini secara terus menerus, terkadang kebaikan kita terus dijadikan bala bantuan yang tidak akan pernah habis dan “terus dieksploitasi”. Sebagai contoh, misalkan anak yang disokong/dimanjakan sepanjang hidupnya oleh orang tuanya, ia tidak akan pernah menjadi orang dewasa yang mandiri dan kompeten. Anak ini malahan akan menjadi benalu dalam kepiawaian orang tuanya menyulap anaknya menjadi sosok sempurna.  Sejak mulai ditutupinya kesalahan kecil si anak, suatu saat kesalahan besarnya akan jadi bom waktu yang membahayakan dirinya sendiri, keluarga dan bahkan lingkungannya.

Sebagian besar orang minta tolong juga dikonotasikan dengan ingin pinjam uang, dengan resiko apakah bisa dikembalikan atau tidak.  Apabila orang tersebut tidak kita kenal dekat namun tiba-tiba datang mengirimkan pesan di whatsapp untuk meminjam uang, mungkin kita dengan tegas segera menolaknya.  Namun apabila dia adalah seseorang yang cukup dikenal dekat dan menceritakan masalahnya secara mengiba, kadang tanpa sadar kita refleks membantunya dengan segera mentransfer sejumlah uang dan ternyata itu penipuan!

Bagaimana perasaan dan pikiran kita setelah menolong seseorang dan hasilnya tidak sesuai dengan harapan kita?   Contohnya, bisa karena kita ditipu seperti hal diatas itu, atau bisa juga karena yang ditolong tidak pernah merasa tercukupi dengan bantuan yang kita berikan. 

Mungkin setelahnya, ada yang akan menjadi lebih sadar untuk lebih selektif dalam memberikan bantuan kepada orang yang minta tolong berikutnya. Namun bisa juga sebaliknya, kapok karena hasil dari trauma yang melekat dalam batin kita dan kita tidak mau memberikan pertolongan kepada siapapun lagi! 

Mengapa dari uraian pembahasan tentang apa, siapa , bagaimana dan hasilnya dari upaya kita menolong orang lain, menjadi hal rumit yang harus diwaspadai dalam memberikan pertolongan, bahkan kepada orang terdekat kita? Karena, pertolongan yang kita lakukan untuk orang di luar diri kita sendiri, ada 4 aspek yang harus kita perhatikan :  
  1. 1. Apakah pertolongan yang saya lakukan ini merugikan diri sendiri? (silakan dikalkulasi sendiri);

  2. 2. Apakah pertolongan ini bermanfaat bagi orang lain? (saatnya tepat, bantuan yang       diberikan sesuai, yang menerima juga bahagia atau malah jadi menderita);

  3. 3. Apa dampaknya bila pertolongan ini diberikan atau tidak diberikan bagi perkembangan mental dan karakteristik si penerima? (menjadi lebih belajar untuk memperbaiki keadaannya sendiri atau menjadi ketergantungan untuk terus ditolong);

  4. 4. Apa pengaruhnya di masa depan terhadap hubungan saya dan si penerima ? (bila suatu saat saya tidak bantu dia lagi, akan menjadi musuh dan saling membenci atau mungkinkah tetap terjalin hubungan baik tanpa embel-embel apapun).

 

Mungkin pertimbangan-pertimbangan ini seperti dibuat rumit, mau nolong aja kok repot? Silakan kita analisa sendiri dari orang-orang yang pernah kita tolong. Berapa banyak orang yang kita tolong dan menjadi lebih baik karakternya dalam menyelesaikan masalahnya? Belajar dari berita kriminal tentang anak pejabat yang terlalu dimanjakan hingga menjadi seorang penganiaya, pesan moral apa yang harus kita terapkan pada keluarga inti kita? 

Menolong orang lain memang sangat baik, ini praktik welas asih yang diajarkan oleh Buddha kepada kita untuk dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi praktik welas asih ini perlu juga didukung dengan praktik kebijaksanaan.  Seperti mata uang dengan dua sisi, welas asih dan kebijaksanaan haruslah berjalan seiring. Tanpa kebijaksanaan, perbuatan baik sering salah arah. Kebaikan kita, tanpa diimbangi kebijaksanaan, bisa malah menjadi keburukan bagi orang lain bahkan juga bumerang untuk diri sendiri.  Sudah siapkah kita dengan resiko kebaikan itu sendiri?

Lebih jauh lagi, kita juga harus senantiasa menjaga kesadaran kita. Menjaga kesadaran itu tidak hanya untuk diri sendiri, mampu menolong orang dengan sadar dan membuat si penerima juga sadar, jauh lebih bermanfaat, demi membantu pembebasan diri sendiri dan orang  lain.  Semoga kita selalu sadar !

Janganlah mengikuti cara hidup yang tercela, janganlah menyerah pada dorongan nafsu indria, janganlah hidup tanpa kewaspadaan, janganlah bergaul dengan mereka yang memegang teguh pandangan keliru ( Dhammapada 167).

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS