Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

BELAJAR DARI KISAH KEMATIAN

Oleh : U.P. Mita Kalyani Irma Gunawan

Kamis, 06 April 2023

MBI

Di bulan April ini, warga Tionghoa, dimanapun berada termasuk juga diaspora di Indonesia, merayakan Ceng Beng, tradisi dimana keluarga besar berkumpul untuk sembahyang  orangtua dan leluhur yang sudah meninggal dengan menyajikan makanan yang disukai para mendiang tersebut, atau lebih sering lagi mereka berziarah langsung ke makam leluhur,  membersihkan makam itu dan melakukan ritual yang sama, lengkap dengan semua persembahannya. Terkadang bahkan banyak yang “wajib” pulang kampung apabila mereka tinggal berjauhan dari makam orang tua yang ada di daerah. 


Bagi kebanyakan keluarga Tionghoa, momen Ceng Beng ini adalah salah satu cara yang dapat mengumpulkan kembali semua anggota keluarga dengan kesibukannya masing-masing atau dikarenakan lokasi tempat tinggal yang berjauhan. Namun seiring berkembangnya pola pikir generasi terkini, hal ini kadang dirasakan sebagai tradisi yang ribet karena sering harus  dilakukan dengan prosedur yang merepotkan. Apalagi bila anggota keluarga banyak yang berbeda keyakinan, akan dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kaidah agamanya. Padahal tradisi ini adalah bukan persoalan satu agama atau “pemaksaan” ritual yang akan mengganggu keyakinan siapapun.  Peringatan Ceng Beng ini dapat disesuaikan dengan agama dan cara nya masing-masing.

Misi dari tradisi  Ceng Beng ini adalah sebagai momentum refleksi diri sendiri agar ingat  pulang ke rumah dan kembali mengingat kebajikan orang tua atau para leluhur yang telah banyak berjasa dalam kehidupan kita sendiri hingga kita ada di dunia saat ini. Walaupun kematian adalah hal yang menyedihkan namun melalui Ceng Beng ini, kita akan dibawa kembali untuk memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya.  Bahwa lahir, sakit, tua, mati dan hukum karma adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita saat ini. Bahwa hidup itu tidak pasti karena perubahannya, namun kematian adalah PASTI dialami oleh setiap manusia.


Lantas, bagaimana menyikapi kisah kematian yang terkadang banyak meninggalkan kesedihan bahkan trauma yang sulit dilupakan sepanjang hidupnya? 

Sebagai umat Buddha yang seringkali mendapat wejangan tentang lahir, tua, sakit, mati, hukum karma, anicca, dukkha, anatta dan lain sebagainya,  dapat dipahami saat kondisi sedang baik. Tetapi terrnyata banyak juga umat Buddha yang terpuruk saat peristiwa kematian datang menghampiri kehidupannya, pemahaman tentang Buddha Dharma tiba-tiba lenyap dari kesadarannya dan yang melekat di pikiran dan hati hanyalah kesedihan, penyesalan, luka karena  penolakan terhadap peristiwa kematian orang yang disayanginya.

Bukan ratap nangis, bukan pula kesedihan, bukan berkabung jenis apa pun, menolong mereka  yang telah meninggal, yang sanak-saudaranya tetap  tidak bisa menolong mereka dengan bertindak demikian. (Tirokudda Sutta).


Menolak Kematian adalah Penderitaan
Dikisahkan di jaman Buddha  Gautama, seorang ibu bernama Kisagotami yang kehilangan putra tunggalnya karena tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. Ia sangat menyayangi dan melekat pada anaknya ini karena dianggap sebagai penjamin kebahagiaan pernikahan dan dirinya di tengah perlakuan tidak baik dari keluarga pihak suaminya. Rasa kesedihan bercampur ketakutan atas kematian putranya ini membuatnya kehilangan akal sehat dan berkeliling mencari cara atau obat agar putranya dapat hidup kembali.  Ia menolak kenyataan bahwa anaknya sudah mati.   


Kisah lain juga ada Patacara, seorang perempuan yang kehilangan seluruh keluarganya secara tragis.  Awalnya Patacara yang sedang mengandung hendak pulang ke rumah orang tuanya, namun dalam perjalanan karena ada badai besar terus menerus, menyebabkan perjalanannya tertunda, dan bayinya lahir di tengah hutan. Suaminya yang hendak membantu mengambilkan kayu dan dahan pepohonan untuk berteduh mati dipatok ular di hutan. Dalam kekalutan dan luka mendalam Patacara membawa kedua anaknya melanjutkan perjalanan.  Saat hendak menyebrangi sungai yang arusnya sangat deras dan karena ia tidak mungkin menggendong kedua anaknya bersamaan, maka satu anaknya yang baru lahir ditinggalkan diatas dedaunan di pinggir sungai, namun nahas ketika Patacara kembali untuk menjemput, bayinya sudah disambar burung Elang. Patacara yang panik lalu melambaikan tangannya ke elang sambil berteriak-teriak mengusir Elang tersebut.

Si sulung yang melihat ibunya melambaikan tangan, mengira Ibunya memanggil untuk kembali kesana, maka berjalanlah anak ini menyebrangi sungai, yang membuat anak sulungnya ini hanyut dan meninggal bersama derasnya arus sungai. Patacara yang sangat terpukul, terus meratap dan meraung-raung sambil terus berjalan hingga tibalah di kampung halamannya. Namun yang didapati juga lebih menyedihkan lagi, yaitu ayah, ibu dan saudaranya meninggal bersamaan akibat rumahnya roboh saat badai besar kemarin.  Patacara menjadi gila, berputar-putar hingga menyebabkan bajunya terlepas dan menjadi telanjang. Ia terus meraung-raung dan berjalan di kota dalam keadaan telanjang.  Siapa yang bisa menerima kenyataan bila seluruh anggota keluarganya mati dalam sekejap?  Patacara menolak kenyataan ini. 


Menerima dan Memaafkan
Kembali ke cerita Kisagotami, pada saat datang mencari dan memohon Buddha untuk menghidupkan anaknya, Buddha dengan bijak meminta satu syarat yakni Kisagotami harus bisa menemukan segenggam biji lada, dari keluarga yang belum pernah mengalami keluarga yang meninggal. Dimana akhirnya setelah mengunjungi banyak rumah, dan mendapatkan bahwa tidak ada satupun keluarga yang tidak pernah kehilangan keluarga yang meninggal dunia, akhirnya dengan sendirinya Kisagotami menyadari fenomena kehidupan ini. Sementara Patacara yang gila, suatu saat mendengarkan kotbah Buddha soal kehidupan yang berulang, dimana dalam setiap kehidupan banyak sekali airmata yang mengalir karena kesedihan dari kehilangan orang yang kita cintai, akhirnya mendapatkan kesadaran dan dapat menerima fenomena kehidupan.

Demikianlah, seperti apa yang tercantum dalam syairu di Brahmavihara Pharana, bahwa semua makhluk mewarisi, lahir, berhubungan dan terlindung olehh karmanya sendiri,  Dalam kehidupan ini, setiap manusia tentu saja lebih menerima kesenangan, kebahagiaan, kesuksesan dan kekayaan, dibandingkan menerima kesedihan, kehilangan, kegagalan dan kemiskinan. Padahal, apa yang datang dalam kehidupan setiap manusia adalah akibat buah dari karma masing-masing. Termasuk kematian orang yang kita sayangi, berpisah dengan orang yang kita cintai dan kemelekatan hati kita dengan apa yang kita miliki.

Apabila ada diantara kita mempunyai janji, momen atau hutang yang belum terselesaikan dengan para mendiang, maafkanlah diri kita sendiri, maafkanlah para mendiang yang tidak bisa menunggu kita, maafkanlah siapapun yang mungkin jadi penghalang kita. Dengan demikian kita bisa melepas kematian, melepas apapun yang kita miliki dan lekati dengan lega. 


Mari kita berproses menerima apa yang datang dalam kehidupan kita saat ini, apapun itu, hingga kelak kita siap menerima kematian kita sendiri. Sadhu,sadhu,sadhu.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS