Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

Flexing VS Hidup Sederhana

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 03 Maret 2023

MBI

Belum lama ini kita dihebohkan dengan kasus anak pejabat, inisial MD, yang melakukan kejahatan dengan menyiksa DO (mantan kekasih dari pacarnya AG) hingga koma. Perbuatan yang keji ini direkam dan beredar di media sosial, yang isinya menayangkan bagaimana caranya dia menyiksa korbannya tersebut hingga koma.  


Karena kejadian ini MD, AG yang masih berusia 15 tahun, dan temannya SL yang merekam kejadian itu, harus berurusan dengan pihak berwajib dan sedang dalam proses persidangan. Yang menjadi ramai di jagat maya, bukan hanya soal kasus perkelahian yang berujung penyiksaan itu, tetapi juga soal gaya hidup MD yang hedon, mengumbar kekayaan di medsos dengan menggunakan mobil mewah, motor mewah dan lain sebagainya, yang belakangan diketahui adalah milik ayahnya, yang merupakan pejabat di Dirjen Pajak, yang justru tidak taat pajak, dan tidak melaporkan harta kekayaannya, yang memang tidak jelas datang dari mana datangnya. Dan hingga saat ini, ayahnya yang berinisial RAT ini sudah dipecat dari jabatannya dan juga sedang dalam proses penyelidikan hukum atas hartanya yang diduga dari tindak korupsi.


Penulis tidak ingin membahas kasus penganiayaan, ataupun kasus gaya berpacaran anak-anak muda jaman now (mungkin di kesempatan lain, dengan topik yang berbeda), tetapi lebih ingin menyorot budaya pamer kekayaan atau lebih dikenal dengan istilah Flexing. Ini tidak hanya dilakukan oleh MD dan sebagian anak pejabat lainnya, tapi juga banyak dilakukan oleh anak-anak muda yang orangtuanya berkelebihan, bahkan juga dilakukan oleh mereka yang biasa-biasa saja, agar terlihat seperti orang kaya. Fenomena ini menjadi lebih marak dengan adanya medsos, yang membuat banyak orang menjadi memungkinkan untuk pamer kekayaannya ke publik. Tidak hanya artis, influencer, semua berlomba menunjukkan eksistensinya dengan memamerkan pencapaian dan kemewahannya. Apalagi pembuat konten-konten medsos (tiktokers, youtubers dan sejenisnya), sengaja menciptakan konten-konten seperti ini, yang memamerkan kemewahan dan gaya hidup serba wah, yang anehnya banyak disukai warganet yang menontonnya. Ini juga kenapa tayangan sejenis ini menjadi semakin marak.


Apa yang menyebabkan orang melakukan Flexing atau pamer kekayaan ini?  Alasan yang paling umum adalah untuk menunjukkan status sosial mereka. Semakin mahal barang yang dimiliki menunjukkan status sosial yang semakin tinggi. Ada kebanggaan karena mampu membeli barang mewah dan keinginan untuk diakui atau dianggap orang kaya. Alasan yang lain, mereka melakukannya agar bisa diterima di dalam pergaulan komunitas teman-temannya yang berkelebihan itu. Tapi ada juga yang melakukan ini dengan tujuan lain, yakni penipuan. Mereka ingin membuat orang percaya pada kondisi status sosial dan kekayaannya, sehingga mudah untuk mempengaruhi orang lain, mengiming-imingkan sesuatu, menjual produk tertentu, yang biasanya berupa investasi.  Ini terjadi pada banyak kasus, bahkan termasuk kasus jiarah ke tanah suci dan tujuan-tujuan mulia lainnya.


Lawan dari Flexing ini adalah hidup sederhana. Ada yang benar-benar sederhana karena ekonominya, ada yang memang menerapkan pola hidup sederhana, tapi ada juga yang flexing terbalik, anak-anak orang kaya sengaja memamerkan kesederhanaanya makan di warteg atau pecel lele pinggir jalan (“Kemaren I abis makan pecel lele pinggir jalan lho!”), atau melakukan kegiatan rumahan, seperti cuci piring, cuci baju, bersih-bersih (“Kemaren I abis nyuci baju sendiri, capek deh tapi asyik.”). Lalu kegiatan itu diekspos ke medsos, dengan tujuan menarik perhatian orang lain, bahwa kehidupan anak orang kaya pun bisa sangat biasa saja. Lucunya, kesederhanaannya ini perlu diketahui orang lain, yang justru menjadi aneh, karena sewajarnya orang sederhana tidak perlu memamerkan kesederhanaanya itu.


Tentu kita sebagai siswa Buddha, harus mengerti akan fenomena itu, dan kita belajar untuk menghindari melakukan tindakan flexing. Di dalam Karaniya Metta Sutta bait pertama dan kedua Buddha berkata “Sakko uju ca suhuju ca, Suvaco cassa mudu anatimani, Santussako ca subharo ca, Apakicco ca sallahukavutti“ yang artinya : Ia harus lurus dan jujur, Rendah hati dan Tidak sombong. Merasa puas dan mudah dilayani, Tidak berlebihan dan hidup sederhana.   


Jadi jelas sekali patokan kita sebagai siswa Buddha, yang harus kita kembangkan adalah sikap-sikap itu, yang sangat jauh dari kata flexing. Kalau kita memang tidak atau belum mampu ya jujur saja, daripada merekayasa agar terlihat mampu. Sebaliknya kalau pun kita mampu, kita juga diajarkan untuk rendah hati dan tidak sombong; yang artinya tidak perlulah kita memamerkan kekayaan kita, kehebatan kita, pencapaian kita, ataupun pangkat, gelar dan kemampuan kita. Buddha juga mengajarkan kita untuk merasa puas dan mudah dilayani; maka kita juga tidak seyogianya mencari-cari kenikmatan secara berlebihan, harus ingat “kebutuhan” beda dengan “keinginan”, apakah kita butuh barang-barang mewah atau hanya nafsu keinginan kita semata.   


Keinginan semakin dituruti maka akan semakin membesar dan cenderung menjadi keserakahan. Makanya kita juga diajarkan untuk tidak berlebihan dan hidup sederhana. Hidup Sederhana bukan berarti kita harus bergaya miskin, tidak memiliki apa-apa. Sederhana juga bukan flexing gaya baru yang penulis sebutkan di atas, berpura-pura hidup seadanya tapi dengan tujuan memamerkan ke orang lain. Sederhana lebih ke sikap mental kita, perilaku kita, yang walaupun memiliki banyak kelebihan, tapi tidak memamerkannya secara berlebihan.


Mari kita kembangkan apa yang diajarkan Buddha dalam kehidupan kita sebagai siswa perumahtangga.  Jangan Flexing, tapi hiduplah Sederhana.

Share:

Komentar (2)

Henry Gunawan Chandra

Sabtu, 04 Maret 2023 14:35

Kamsahamnida.. ????????

Amin Untario

Sabtu, 04 Maret 2023 10:28

good job

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS