Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Artikel Populer

Jum'at, 26 Agustus 2022

Ojo Dibandingke

KDRT, nyata dan pura-pura

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 07 Oktober 2022

MBI

Seminggu belakangan ini berita mengenai KDRT, kekerasan dalam rumah tangga, menjadi buah bibir yang ramai dibicarakan.  Setidaknya ada 2 kasus yang membuat KDRT menjadi sangat hits, yang keduanya melibatkan nama artis / selebritis terkenal Indonesia.  Yang pertama, kasus prank seorang artis dan youtuber terkenal berinisial BW yang pura-pura melakukan KDRT terhadap istrinya PV, kemudian istrinya membawa kasus ini ke kantor polisi, tapi setelah BW dipanggil polisi atas aduan itu, ternyata BW dan PV menyatakan bahwa ini semua hanya candaan semata dan bukan kejadian sebenarnya, hanya demi konten saja, dan pihak kepolisian termasuk penonton channelnya tertipu alias diprank.  


Tentu saja perbuatannya tersebut membuat marah institusi kepolisian yang sedang mencoba memperbaiki citra kelembagaannya yang sangat terdegradasi akibat kasus petingginya FS yang begitu menghantam instansi kepolisian, juga membuat marah netizen dan beberapa kelompok pemerhati lainnya, yang ujung-ujungnya malah kasus ini dilaporkan lagi ke kepolisian, sebagai tindakan pelaporan palsu. 

 

Berbeda dengan kasus kekerasan tadi, kasus kekerasan fisik dengan pelemparan bola billiar terhadap artis LK oleh suaminya sendiri RB, adalah tindakan KDRT sungguhan, minimal sampai artikel ini ditulis begitu informasinya, yang menimpa selebriti yang tahun lalu pernikahannya diendorse oleh banyak sponsor dan disiarkan secara besar-besaran oleh hampir semua media televisi dan online di tanah air, dengan segala kontroversi dan hiruk pikuknya.  Dan kasus KDRT ini ternyata bukan yang pertama, dan sudah berulang kali dilakukan.  Tetapi di kasus terakhir ini, rupanya sudah melewati batas kesabaran LK, sehingga akhirnya perbuatan KDRT RB inipun dilaporkan ke instansi berwenang. 

 

Penulis tentu bukan hendak mengajak pembaca menjadi kepo pada kasus di atas, tetapi ingin mengangkat soal KDRT ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya bagi kita para perumah tangga.  Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, ada 4 jenis KDRT yaitu: 1. Kekerasan Fisik; 2. Kekerasan Psikis; 3. Kekerasan Seksual; 4. Penelantaran Rumah Tangga.  Dan yang paling banyak muncul ke permukaan tentu adalah yang pertama, kekerasan fisik, karena lebih mudah dilihat kasat mata, walau yang tiga lainnya tidak kalah banyaknya, dan bisa jadi malah lebih besar kejadiannya, terutama yang kekerasan psikis.

 

Kenapa ini penting untuk kita pahami, karena sebagai siswa Buddha tentu saja, tindakan KDRT ini sangat bertentangan dengan Dharma yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni.  Selain berlawanan dengan Belas kasih dan Kebijaksanaan yang menjadi fondasi ajaran, ini juga termasuk pelanggaran moralitas/sila yang kita tekadkan sebagai perumahtangga.  Hampir semuanya dilanggar.  Kekerasan Fisik melanggar sila pertama, kekerasan psikis melalui ucapan melanggar sila keempat, kekerasan seksual melanggar sila ketiga. Dan juga KDRT sering terjadi juga karena pengonsumsian minuman dan atau zat yang memabukkan, yang artinya pelanggaran sila kelima.  Dan sila kedua juga, kalau kita perluas maknanya, karena KDRT sudah mengambil hak orang lain, mengambil kebahagiaan orang lain, membuat mereka berada dalam tekanan, kesakitan, ketakutan bahkan trauma.

 

Mengapa KDRT bisa muncul?

KDRT biasanya terjadi karena ada pihak yang ingin lebih dominan atau lebih bisa mengontrol yang lain, untuk menjadi yang paling berkuasa di rumah.  Pelakunya bisa suami bisa juga istri, keduanya berpotensi melakukan KDRT.  Walau secara data: "Pada 2021, Komnas Perempuan menerima 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal, dan kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT dan selalu berada di atas angka 70%," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada wartawan (detik.com), Sabtu (1/10/2022).

 

Perasaan superioritas, merasa lebih unggul dari orang lain, dalam hal ini pasangannya, sangatlah berbahaya.  Ini adalah gejala psikologis yang sesungguhnya merugikan, yang sering diibaratkan sebagai pencuri kebahagiaan, yang harus kita hindari dan buang. (lebih lengkap baca di artikel sebelumnya : Ojo dibandingke)  Kalau kita mampu untuk menciptakan perasaan setara, tidak ada satu yang lebih dari yang lain, maka keinginan untuk mendominasi pasangan akan menjadi hilang, yang muncul perasaan senasib sepenanggungan, sama-sama manusia yang menderita, yang mendambakan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan.   Dan bukankah itu tujuan berumah tangga? 

 

Mungkin kalau ditanya ke pasangan yang menikah, jawaban yang paling umum yang kita dapatkan adalah untuk membangun keluarga Hitaya-Sukhaya, sejahtera dan berbahagia.  Tapi apakah sesederhana itu? Apakah iya dengan menikah, dengan berkeluarga itu kita akan mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan?  Pilihan hidup berkeluarga ini, menurut penulis adalah pilihan yang tidak mudah, kalau tidak bisa dikatakan paling sulit diantara berbagai pilihan yang lain.  Banyak yang harus dilakukan pasangan suami istri untuk bisa mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan.

 

Dasar dari hubungan suami istri adalah Maitri (Cinta kasih), dan kata Maitri itu merujuk pada Mitra atau sahabat.  Jadi sesungguhnya suami istri itu adalah layaknya dua orang sahabat/mitra, harapannya tentu adalah sahabat baik/kalyanamitra.  Yang saling mendukung, saling menguatkan, berbagi suka dan duka bersama.  Itulah sesungguhnya hakikat perkawinan itu sendiri.  Kebahagiaan dan juga kesejahteraan akan muncul dengan sendirinya apabila kedua pasangan bisa saling mendukung, saling membantu dalam mengarungi kehidupan yang penuh duka ini bersama-sama.

 

Buddha pernah berkata dalam Anguttara Nikaya II,62 : Apabila sepasang suami istri ingin bersama dalam kehidupan ini maupun kehidupan mendatang, hendaknya memiliki empat hal, yakni : setara dalam keyakinan (samma saddha); setara dalam moralitas (samma sila); setara dalam kemurahan hati (samma caga); setara dalam kebijaksanaan (samma panna).  Jadi sekali lagi, kesetaraan suami dan istri sangat ditekankan, bukan satu lebih tinggi dari yang lain. 

 

Keyakinan di sini, menurut pandangan penulis, hendaknya lebih mengacu pada keyakinan terhadap nilai-nilai kesadaran, kebenaran, dan kesucian (tiga permata), alih-alih wujud fisik, seremoni ataupun KTP.  Menjaga moralitas/sila adalah dengan  menjunjung tinggi kehidupan; tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya; tidak melakukan perbuatan seksual yang salah; kata-kata yang tidak melukai dan meyakiti; serta konsumsi yang tidak merusak fisik dan batin kita.  Kemurahan hati adalah membangkitkan kepedulian pada pasangan, keluarga dan semua mahluk, sigap membantu meringankan penderitan mereka.  Dan  tentu kebijaksanaan harus dikembangkan, pandangan yang benar akan hakikat kehidupan dan berumahtangga menjadi landasan yang sangat membantu terciptanya rumah tangga yang harmonis.

 

Dengan mempraktikkan apa yang diajarkan oleh Buddha ini, seharusnya dan bahkan semestinya tidak ada satupun siswa Buddha yang melakukan tindakan KDRT.  Baik yang nyata ataupun yang pura-pura.

 

Referensi :

Artikel detiknews, "Komnas Perempuan: Kekerasan terhadap Istri Urutan Pertama di Kasus KDRT" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-6322607/komnas-perempuan-kekerasan-terhadap-istri-urutan-pertama-di-kasus-kdrt.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS