Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Berita
  • Home
  • /
  • Berita
  • /
  • Napak Tilas Peninggalan Biksu Ashin Jinarakkhita Dengan Susuri Sungai Kaligarang

Cari

Tampilkan Berita

Biksu Ashin Jinarakkhita sangat dihormati umat Buddha

Napak Tilas Peninggalan Biksu Ashin Jinarakkhita Dengan Susuri Sungai Kaligarang

MBI

Rabu, 04 Oktober 2023

MBI

PADA KEGIATAN NAPAK TILAS PANDITA BUDDHAYANA JAWA TENGAH DI WIHARA SIMA 2500 BUDDHA JAYANTI, BUKIT KASSAPA, SEMARANG NILAI LUHUR TINGGALAN ASHIN JINARAKKHITA MAHASTHAVIRA SEBAGAI SUMBANGSIH PEMELUK BUDDHA UNTUK NEGARA BANGS


Sebanyak 40 orang bhikkhu-samanera, anggota Sangha Agung Indonesia; 410 pandita Buddhayana se-Jawa Tengah, didukung lebih dari 150 orang umat Buddha dan Tim Relawan dari berbagai himpunan. Pada hari Sabtu pagi (30/09/2023) hingga siang hari hadir tumplek bleg di pelataran Wihara Buddha Dipa, Desa Pakintelan, Gunungpati, Semarang.

Sekitar 750 orang yang hadir tersebut secara khusus mengikuti kegiatan “Napak Tilas Pandita Buddhayana Jawa Tengah di Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti, Bukit Kassapa, Semarang. Sebagai Nilai Luhur Tinggalan Ashin Jinarakkhita Mahasthavira untuk Negara Bangsa”. Hal ini seperti diutarakan Ketua Umum Sangha Agung Indonesia, Bhikkhu Khemacaro Mahathera dalam pidato sambutannya.

noname

Bhikkhu Khemacaro juga menegaskan, bahwa perjuangan Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dapat disetarakan dengan perjuangan pendiri Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah bagi saudara pemeluk Islam. Juga setara dengan perjuangan Romo Albertus Soegijapranata, S.J. bagi saudara umat Kristen Katolik. Hal ini karena sejak Ashin Jinarakkhita Mahasthavira kembali ke tanah air pada bulan Januari 1955 sesudah menempuh studi di luar negeri. Beliau berusaha meneladai umat Islam dan Katolik yang telah lebih dulu memberikan sumbangsihnya untuk negara bangsa.

“Saudara umat Islam dengan perangkat budayanya seperti pondok pesantren telah berhasil menjadikan agama Islam sebagai “Islam Nusantara”. Sementara Romo Albertus Soegijapranata, S.J. telah berhasil mengajak umat Katolik menjadi “Minoritas Berkualitas” dengan semangat “100% Katolik, 100% Indonesia”. Nah bagaimana dengan kita sebagai umat Buddha Indonesia?” 

Agama Buddha Indonesia
Lebih lanjut, Bhante Khemacaro Mahathera menerangkan, bahwa agama Buddha memang telah menjadi bagian dari falsafah hidup penduduk Nusantara sejak awal abad Masehi. Namun Kemudian agama Buddha sempat surut seiring rubuhnya Wilwatikta-Majapahit di sekitar pertengahan abad ke-15. Lalu berkembang kembali sejak awal abad ke-20, namun dengan dinamika pengaruh berbagai corak budaya dari luar negeri. 

Misalnya dari China, India, Thailand, Myanmar, Kamboja, Srilanka, Jepang, dan sebagainya. Agama Buddha dari luar negeri ini juga dipengaruhi suatu corak sesuai alam tumbuh kembangnya masing-masing. Misalnya dari Thailand, membawa corak Theravada mainstream; dari China dan Taiwan membawa corak Mahayana Tiongkok; dan dari Tibet membawa corak Vajrayana Tibetan. Maka sesudah perkembangan kembali agama Buddha di era kemerdekaan, sempat muncul friksi dialektika intelektual antar tokoh masing-masing. Sehingga umat Buddha sempat harus melewati masa-masa tidak menyenangkan “perbedaan pendapat” karena kotak-kotak pengaruh agama Buddha dari luar negeri. 

Bukan Cangkokan, Namun Benih Bibit Baru
Hal senada disampaikan oleh Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia, Bhikkhu Dr. Nyanasuryanadi atau yang akrab disapa Bhante Sur. Dalam Dharmadesana atau pesan Dharma yang ia sampaikan di petilasan Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti, Bukit Kassapa, Semarang. Bhante Sur menekankan bahwa ciri khas agama Buddha adalah kesamaan ajaran dari peristiwa Dharmacakra Pravartana Sūtra pertama kali kepada lima orang pertama murid awal-Nya.

“Ciri khas semua corak agama Buddha adalah lambang roda Dharma. Sekarang kita kenal roda Dharma terdiri dari 8 ruas atau ruji-ruji. Namun pada tahap awal seperti yang terdapat pada relief Candi Mendut, Magelang. Roda Dharma terdiri dari empat ruas atau ruji-ruji yang memuat lambang catvāri āryasatyāni atau “Empat Kebenaran Mulia”. Kemudian seiring perjalanan waktu, Dharma Ajaran Buddha diteruskan turun temurun menyesuaikan perkembangan zaman dan keadaan. Termasuk melalui berbagai macam lambang atau simbol untuk memudahkan pemeluk Buddha mencapai tujuannya. Yaitu padamnya ketidakpuasan atau dukkha dengan tercapainya pembebasan atau Nirvana (Nibbana)”. 

noname

noname

Share:

Komentar (1)

Suharyanto

Selasa, 10 Oktober 2023 07:13

semoga kami dapat menelusuri jalan yg telah kau tunjukkan...hingga Nibbana

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS