Selamat Datang Naga Kayu
U.P. Sasanavirya Sugianto Sulaiman
SEKBER PMVBI (Pemuda Buddhayana), SIDDHI, WBI, Wulan Bahagia, Sekber Yabuddhi, MBI, Sagin
Salah satu tradisi Tionghoa yang berupa naiknya Dewa Dapur (Zao Shen/Cao Kung Kang) ke langit untuk melapor kepada Dewa Langit (Kaisar Langit) yang bergelar Kaisar Kumala atau Giok Teh untuk melaporkan kegiatan keluarga-keluarga selama tahun kelinci air Masehi 2023. Sebagai masyarakat Tionghoa tradisional ini merupakan tradisi yang penting menjelang Imlek, karena sesuai kepercayaan agar di tahun mendatang yaitu Naga Kayu keluarga tersebut memperoleh rejeki yang melimpah maka laporan Dewa Dapur kepada Kaisar Langit harus baik, sehingga rejekinya ditambahkan. Bagaimana kita memaknai tradisi di atas?
Tulisan ini dibuat pada saat masyarakat keturunan Tionghoa sedang melaksanakan perayaan tradisi Tionghoa yang berupa naiknya Dewa Dapur (Zao Shen/Cao Kung Kang) ke langit untuk melapor kepada Dewa Langit (Kaisar Langit) yang bergelar Kaisar Kumala atau Giok Teh untuk melaporkan kegiatan keluarga-keluarga selama tahun kelinci air Masehi 2023. Sebagai masyarakat Tionghoa tradisional ini merupakan tradisi yang penting menjelang Imlek, karena sesuai kepercayaan agar di tahun mendatang yaitu Naga Kayu keluarga tersebut memperoleh rejeki yang melimpah maka laporan Dewa Dapur kepada Kaisar Langit harus baik, sehingga rejekinya ditambahkan.
Untuk mengakali hal tersebut orang Tionghoa secara tradisi bersembahyang kepada Dewa Dapur dengan sajenan berupa permen susu yang lengket dan manis yang bergambar kelinci, tebu yang manis atau kue lao hoa yang lengket dan manis, dan juga kue keranjang atau dodol cina yang terkenal lengket dan manis. Kenapa harus lengket dan manis? Lengket supaya mulut Dewa Dapur itu jangan banyak bicara dan manis agar ia lupa dengan laporannya, sehingga ia hanya melaporkan hal-hal yang baik kepada Kaisar Langit seraya terus mengucapkan kata tien dalam bahasa mandarin yang berarti manis dan juga berarti tambah, maksudnya agar ditambahkan rejeki dan kebahagiaan keluarga tersebut.
Sewaktu penulis kecil dulu atau masih bocah, maka upacara persembahyangan Dewa Dapur ini sangat menarik perhatian penulis, karena anak-anak akan memakan sesajen yang manis-manis tersebut dan menyimpan permen-permen yang dijadikan sajenan. Sembahyangnya pun berlangsung di dapur dekat altar Dewa Dapur yang biasanya diletakkan di bawah atau di samping tungku pemasak.
Sebagai seorang Buddhis, bagaimana kita memaknai tradisi di atas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus memperhatikan kegiatan umat Buddha menyambut perayaan Imlek yang akar budayanya berasal dari tradisi Tionghoa. Sebagai umat Buddha dan umat manusia adalah sangat lazim orang melaksanakan suatu tradisi atau ritual untuk memperoleh keselamatan, keberuntungan, kesehatan dan kebahagiaan. Orang-orang Tionghoa yang masih terikat pada tradisi biasanya melakukan pencucian rupang-rupang dewa di kelenteng-kelenteng pada saat para dewa naik ke langit, yaitu setelah selesai sembahyang Dewa Dapur. Tujuan upacara ini ialah agar membersihkan diri, membersihkan tempat, dan membersihkan alat-alat persembahyangan untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
Secara Buddhis khususnya Mahayana, upacara ini dapat disesuaikan dengan pembersihan rupang dan pensucian, baik mulut kita, tubuh kita, penyucian tempat termasuk rupang, altar dan wihara, serta penyucian hati, pikiran, ucapan dan perbuatan, sehingga di tahun baru nanti kita memperoleh berkah dari Triratna.
Dalam Buddhisme filosofinya ialah agar kehidupan kita menjadi bahagia. Untuk menjadi bahagia maka Sang Buddha mengajarkan Cattari Ariya Saccani (4 Kesunyataan Mulia) agar kita dapat terlepas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Untuk menjadi bahagia maka kita harus dapat menerima semua kondisi yang merupakan buah karma kita. Kita tidak mungkin menolak untuk membuang air kecil jika kita meminum minuman, apalagi dalam jumlah yang banyak. Justru jika kita tidak bisa buang air kecil berarti ada sesuatu yang harus diperiksa ke dokter. Mereka yang sakit ginjal harus menghabiskan uang yang sangat banyak agar bisa buang air kecil.
Dalam Dhammapada XV:200 diuraikan “ Sungguh bahagia hidup kita ini apabila sudah tidak terikat lagi oleh rasa ingin memiliki. Kita akan hidup dengan bahagia bagaikan dewa-dewa di alam yang cemerlang.” Keinginan untuk memiliki yang berlebihan memicu kita untuk melakukan berbagai kejahatan, termasuk perang yang merupakan puncak dari kejahatan itu sendiri. Perbuatan jahat yang keji membuat kita terbelenggu akan dosa-dosa, sehingga kita terperosok kepada kebodohan dan penderitaan. Ini yang kita kenal dengan 3 (tiga) dosa besar, yaitu Lobha, Dosa dan Moha.
Tradisi Tionghoa memang menawarkan solusi-solusi pintas seperti upacara keberangkatan dewa dapur ke langit, pemandian rupang dewa dewi di kelenteng, ada juga upacara penghapusan sial atau bencana, lalu ada lagi po un atau upacara menambah keberuntungan. Di negara-negara maju termasuk di Tiongkok sendiri, upacara-upacara semacam ini sudah hilang karena sudah tidak dipercaya lagi oleh orang-orang Tionghoa di sana. Anehnya upacara-upacara seperti ini masih laris manis di kota-kota besar di Indonesia.
Pertanyaannya, boleh tidak kita melakukan upacara seperti di atas? Tentu saja tidak ada yang melarang jika ingin mengikuti tradisi di atas. Tetapi menurut ajaran Mahayana, setiap perbuatan harus menggunakan pikiran (IQ/ logika) di bawah pembinaan Bodhisatva Manjusri, serta menggunakan hati dan perasaan yang berada di pembinaan Samantha Badra Bodhisatva.
Akhirnya, Penulis mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek 2024. Semoga dalam tahun Naga Kayu ini kita senantiasa dilindungi Sang Triratna dengan kebijaksanaan dalam semua pikiran dan ucapan kita, tindakan yang benar dalam kehidupan kita serta hati yang suci dalam persaudaraan sebangsa setanah air. Mudah-mudahan pilpres dan pileg berlangsung damai, negara aman dan sejahtera, pemerintah bertindak lurus, hujan turun tepat pada waktunya dan kita diberkati dengan kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Sadhu Sadhu Sadhu