Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Bulan Hantu: Dari Festival Hantu ke Ulambana

Cari

Tampilkan Artikel

Bulan Hantu: Dari Festival Hantu ke Ulambana

U.P. Magga Panno Jhony, BBA., CPC.

Sabtu, 30 Agustus 2025

Apakah Festival Hantu ini diadopsi dari kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno dalam memperingati hari kebesaran Di Guan pada tanggal 15 bulan ke 7 lunar? Tidak ada yang tahu pasti. 


Penelusuran asal mula Festival Hantu adalah sebuah kisah yang Panjang dan kompleks. Akar kisah ini menurut beberapa sumber diyakini sejak Dinasti Han (206 SM - 220 M) di Tiongkok yang merupakan kombinasi kepercayaan masyarakat Tiongkok dan Taoisme.  Pada awal masa jauh sebelum Dinasti Han yaitu Dinasti Shang (1600–1046SM) masyarakat masih kental dengan praktik Oracle Bone, praktik upacara peramalan menggunakan potongan tulang atau cangkang kura-kura.  Masyarakat akan menuliskan pertanyaan pada potongan tulang atau cangkang tersebut untuk meminta petunjuk dewa.  Peramal akan mengukir pertanyaan pada tulang tersebut, lalu memanaskannya hingga retak, dan menafsirkan pola retakan itu sebagai jawaban dari dewa.

 

Jika kita mundur lebih jauh lagi sebelum masa hadirnya dinasti di Tiongkok; Dinasti Xia (2070–1600 SM), Dinasti Shang (1600–1046 SM), Dinasti Zhou (1046–256 SM), Dinasti Qin (221–206 SM), Dinasti Han (206 SM–220 M), Dinasti Sui (581–618 M), Dinasti Tang (618–907 M), Dinasti Song (960–1279 M), Dinasti Yuan (1279–1368 M), Dinasti Ming (1368–1644), dan Dinasti Qing (1644–1912 M). Ada sebuah kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, hidup seorang kasisar bernama Kaisar Yao.

 

Sosok Kaisar Yao adalah seorang legenda-sebagian percaya hanya mitos, hidup pada ± 2356 – 2255 SM. Kaisar Yao masuk dalam legenda Tiga Maharaja dan Lima Kaisar menurut kepercayaan Tiongkok. Namun pada 2015 seorang arkeolog mengumunkan penemuan ibukota Kaisar Yao.  Pada masa Kaisar Yao, masyarakat Tiongkok kuno memiliki kepercayaan San Guan Da Di (Sam Kwan Tai Te / San Jie Gong) yaitu; 1. Tien Guan (15/1) - pemberi berkah; 2. Di Guan (15/7) - pengampun dosa; dan 3. Shui Guan - pelindung dari bencana dan malapetaka (15/10), dimana tanggal tersebut adalah menurut penanggalan lunar ketika tiga pejabat tersebut turun ke bumi.

 

Apa yang menjadi cerita menarik adalah tugas dari Penguasa Kedua, Di Guan. Tugas dari penguasa ini ketika turun ke bumi antara lain mengatur hasil panen, mengatur roh-roh ke akhirat, mengatur pengampunan dosa.  Karena itu Di Guan dikenal sebagai Zhong Yuan alias Zhong Yuan Di Guan Da Di.  Singkat cerita, ada beberapa versi tentang legenda dari Tiga Maharaja dan Lima Kaisar yang dapat kita temukan dari berbagai literatur.  Perayaan Festival Hantu dewasa ini dapat dikatakan telah dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, Tao, dan Buddhis dengan masuknya ajaran Buddha pada sekitar abad I ke Tiongkok.

 

Kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno berangsur-angsur menjadi alas munculnya kepercayaan bulan hantu, yang kita kenal saat ini sebagai Festival Hantu atau Hungry Ghost Festival (Zhong Yuan Jie). Festival ini dirayakan di beberapa negara; Singapore, Taiwan; Hongkong; RRT; Malaysia; hingga Indonesia juga tidak ketinggalan.  Di Indonesia, kita kenal dengan istilah sembahyang Cioko, sembahyang rebutan yang diadakan bulan 7 lunar, dengan tujuan untuk menghormati arwah leluhur dan arwah tanpa keluarga, berbagi keberuntungan, hingga menolak bala (menghindari gangguan dari roh jahat).

 

Apakah Festival Hantu ini diadopsi dari kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno dalam memperingati hari kebesaran Di Guan pada tanggal 15 bulan ke 7 lunar? Tidak ada yang tahu pasti. Namun kecocokan waktu dan kepercayaan dan tradisi pada masa itu mengantarkan kita pada kesamaan cerita (penelitian lebih detail diperlukan untuk hal tersebut). Sejalan dengan pemikiran tersebut, menjelaskan bahwa tradisi umumnya disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi oleh para tetua atau sesepuh dalam masyarakat.  Tradisi ini biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tidak berwujud, seperti adat-istiadat yang tidak dapat diverifikasi melalui pendekatan akademis-ilmiah, namun tetap diterima oleh masyarakat melalui cerita yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.  Tapi diterima sebagai fakta historis. Nabilla, S (2025).

 

Dalam versi (ordo) Theravada dan Mahayana, kita juga merayakan Ulambana pada bulan ke-7 penanggalan lunar.  Menurut mendiang Takakusu Junjiro, profesor Emeritus bahasa Sanskerta dari Universitas Imperial Tokyo, kata “ullambana” berasal dari perubahan kata dalam bahasa Pali, dari kata “ullumpana” yang berarti “menaikkan, menyelamatkan, menolong” yang kemudian menjadi “ullumbana” lalu menjadi “ullambana“.

 

Upacara ini dilaksanakan selama sebulan di beberapa rumah ibadah agama buddha di Indonesia. Upacara Ulambana diyakini berakar dari cerita Mogolana (Maudgalyayana) atau Mulian yang berkeinginan yang berniat dan berhasil menolong ibunya dari alam peta berkat nasihat Buddha dan dukungan para anggota Sangha (Ulambana Sutra) yang diterjemahkan oleh Dharmaraksha ke Bahasa Tionghoa dari Sansekerta pada Dinasti Jin (266-313 M).

 

Namun dalam Sutra tersebut tidak ada kaitan dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa sebagaimana adanya; “wisata” para hantu ke alam manusia selama sebulan, kesialan yang terjadi di umat selama pintu neraka dibuka, dan lain sebagainya.  Jadi kepercayaan akan perayaan Hungry Ghost Festival bukan berasal dari Ulambana Sutra itu sendiri.

 

Walaupun demikian umat Buddha tidak dilarang melanjutkan tradisi dari keluarga sejauh tidak menimbulkan penderitaan pada makhluk lain atau diri sendiri, melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka (orang tua) meninggal dunia. (Sigalovada Sutta).  Namun tetaplah bersikap bijaksana. Ulambana hanya sebuah momen, namun penghormatan kepada orang tua, pantas dilakukan setiap saat.  Membantu ayah dan ibu (Manggala Sutta), orang tua laksana Dewa Brahma, guru bijaksana dari masa lampau, pantas memperoleh persembahan (A.II.69).  

 

Ketika kita mampu namun tidak menyokong ayah dan ibu dalam usia tua mereka, ini adalah sebab kemerosotan batin (Sn.98).  Karena ayah dan ibu adalah orang yang tidak terbalas jasanya, bawalah orang tua ke jalan Dharma, memiliki keyakinan, berkebajikan, murah hati, menjadi bijaksana, dengan begitu kita telah membalasa jasa orang tua. (A.I.61).  Kepada orang tua/sanak keluarga yang telah meninggal, leluhur, kita dapat melakukan Pattidana, salah satu Dasa Puññakiriyavatthu (sepuluh perbuatan baik) yang sangat dianjurkan.

Sumber Artikel
Ching, Julia; R. W. L. Guisso (1991). Sages and filial sons: mythology and archaeology in ancient China. The Chinese University Press. hlm. 140. ISBN 978-962-201-469-5. http://www.china.org.cn/china/2015-06/19/content_35861455.htm Scientists discover Empe

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS