Menderita Demi Kebahagiaan: Pelajaran Indah dari Buddha
U.P. Panna Dhamma Haryanto Tanuwijaya
Jum'at, 02 Mei 2025
MBI
Dalam ajaran Buddha, penderitaan sebenarnya bukan sekedar rasa sakit fisik, emosional atau mental. Memang kata "Dukkha", banyak diterjemahkan sebagai penderitaan. Sebenarnya makna dari Dukkha sangatlah lebih luas dan dalam, yang merujuk pada sifat keduniawian yang tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa inti atau diri sejati (anatta). Buddha telah mengingatkan manusia bahwa semua hal yang berkondisi tidak kekal adanya. Sebagaimana dikutip dari Dhammapada 278, bahwa “Sabbe saṅkhārā dukkhā” yang artinya “Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha (tidak memuaskan).” Dengan demikian semua yang berkondisi pada akhirnya akan berubah dan tidak pernah memberi kepuasan. Inilah penyebab hidup pada akhirnya terus berputar antara harapan dan kekecewaan sebagai bagian dari Dukkha. Namun kita patut bersyukur, karena Buddha telah menjelaskan bagaimana menjalani penderitaan yang justru membuka jalan menuju pembebasan.
Dua Jenis Dukkha dalam Ajaran Buddha
Dalam Devadaha Sutta (Majjhima Nikaya 101), Buddha menyatakan bahwa di kehidupan duniawi ini terdapat dua jenis Dukkha yang dapat dijalani manusia, yaitu: Samudaya dukkha dan Nirodha dukkha. Samudaya dukkha merupakan dukkha yang tidak membawa manfaat. Penderitaan ini muncul akibat adanya kemelekatan dan keinginan manusia. Sebagai contoh kemelakatan manusia pada benda atau seseorang yang dicintai sehingga menderita ketika kehilangannya. Contoh lain adanya keinginan manusia yang tidak ada habisnya sehingga menderita ketika keinginannya tidak terpenuhi. Penderitaan semacam ini yang hanya menimbulkan penderitaan baru patut kita hindari.
Sebaliknya, Nirodha dukkha merupakan dukkha yang justru membawa manfaat. Dukkha ini merupakan penderitaan yang dijalani seseorang dengan penuh kesadaran, bertujuan untuk membersihkan batin dan memperoleh kebebasan. Sebagaimana dikatakan dalam Devadaha Sutta, MN 101 bahwa “Seseorang yang menderita karena disiplin moral, pengendalian diri, dan latihan batin, maka penderitaan itu membawa manfaat dan mendekatkannya pada kebebasan.” Contoh sederhana Nirodha dukkha dapat dilihat dari orang-orang yang menjalani terapi sengat tawon atau bee venom therapy. Terapi ini jelas menyakitkan, karena tawon disengatkan dengan sengaja ke kulit sehingga menimbulkan rasa sakit dan nyeri namun mengapa banyak orang yang rela menjalani terapi ini? Karena mereka percaya bahwa racun tawon membantu sistem imun dan mengobati nyeri kronis di tubuhnya. Apakah para pasien itu menikmati rasa sakitnya? Tentu tidakkan. Tapi karena mereka menyadari tujuannya untuk kesembuhan dan pemulihan, walau menimbulkan rasa sakit mereka rela menderita disengat tawon. Inilah bentuk Nirodha dukkha yang jika dijalani dengan penuh kesadaran demi kebahagiaan sehingga tidak takut pada rasa sakit. Ajahn Brahm mengatakan, "Enduring pain for a higher purpose transforms suffering into strength."
Kita juga bisa belajar dari pengalaman Buddha berawal dari seorang Pangeran Sidharta yang hidup bergelimang kemewahan di Istana Kapilavatthu sampai meninggalkan istri, anak, dan istana dengan semua kemewahannya demi mencari kebenaran. Sebelum mencapai pencerahan sempurna di bawah Bodhi, Sidharta sempat menjalani pertapaan ekstrem, menyiksa diri hingga hampir meninggal, sampai akhirnya menemukan jalan tengah dan mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa penderitaan yang dihadapi dengan kebijaksanaan akan membawa pada pembebasan atau kebahagiaan. Sebagaimana dikatakan dalam Dhammacakkappavattana Sutta, SN 56.11, ”Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan (Dukkhaṁ ariyasaccaṁ).”
Oleh karena itu, kita seharusnya bertanya pada diri kita sendiri, “Demi apa aku menderita?” Apakah penderitaan yang kita jalani mengarahkan kita pada kebijaksanaan dan pembebasan, atau justru memperkuat kemelekatan dan kesombongan yang menimbulkan penderitaan baru.
Dukkha dalam Latihan Spiritual
Dalam kehidupan spiritual, sebagian besar orang menginginkan hasil yang cepat dan instan, ketenangan seketika tanpa latihan, atau perubahan batin tanpa rasa sakit. Namun sejatinya, tanpa melalui Dukkha, tak akan tumbuh Paññā (kebijaksanaan). Buddha telah menunjukkan bahwa jalan menuju kebijaksanaan bukan jalan yang bebas dari penderitaan, melainkan jalan yang penuh dengan penderitaan namun dilalui dengan kesadaran penuh. Dalam Anguttara Nikāya 3.30 dikatakan, “Seyyathāpi nāma dāruṁ āditto santatto sajotibhūto… tapati jāyati bhidyati”, artinya Seperti kayu yang dibakar api: ia menyala, ia memanas, lalu menjadi bara yang memurnikan.
Jadi dengan penderitaan yang dialami dengan penuh kesadaran akan mengikis ego dan memperkuat batin kita. Batin manusia ibarat guci tanah liat yang lembut dan rapuh yang tidak indah dan kuat sebelum dibakar. Proses pembakaran itu suatu penderitaan yang menyakitkan, tapi sesudah melewatinya guci itu menjadi indah, kuat, dan bermanfaat. Demikian pula dengan batin kita, tanpa ‘dibakar’ dan melalui proses pematangan tidak akan kuat menghadapi perubahan hidup. Karena itu dibutuhkan kesabaran selama proses berlatih diri sebagaimana dikatakan dalam Dhammapada 184, “Kesabaran adalah pertapaan tertinggi” (Kanti paramam tapo titikkhā)
Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki
Sekarang kita sudah memahami bahwa tidak semua penderitaan membawa kesia-siaan. Dalam kehidupan ini, kita memang tidak bisa menghindari dukkha, namun kita dapat memilih bagaimana meresponsnya. Seperti kata Carl Jung, "I am not what happened to me, I am what I choose to become." Pilihan dan tindakan kita di saat ini dan masa mendatanglah yang menentukan kehidupan kita.
Ketika kita mampu menyadari bahwa segala sesuatu pasti berubah, maka kita tidak lagi diliputi ketakutan akan kehilangan dan kemelekatan dan kita dapat menjalani kehidupan ini dengan rasa syukur dan penuh penerimaan. Latihan spiritual sejati bukan sekedar duduk dalam keheningan, namun latihan menghadapi hidup apa adanya bersama penerimaan. Ketika kita memiliki keberanian untuk duduk dengan rasa kesemutan, sakit, pikiran kacau, frustrasi, maupun kekecewaan tanpa berhenti, menghindar apalagi lari, maka kita telah berada di jalan yang benar untuk membangun kebijaksanaan sejati.
Bunga yang mekar akan gugur pada waktunya, matahari yang terbit akan tenggelam pada waktunya, demikianlah yang diajarkan Sang Buddha, semua akan indah pada waktunya. Sebagaimana dikatakan dalam Sutta Nipata 4.16, “Ye ca saṅkhātadhammānaṁ, paññāya atthaṁ nappajānanti; Te ve jātijarāyogā, mārabandhanabandhitā,” yang artinya mereka yang tidak memahami makna penderitaan melalui kebijaksanaan, akan tetap terikat oleh kelahiran, usia tua, dan kematian. Melalui penderitaan yang dijalani dengan penuh pengertian dan kebijaksanaan, kita bukan hanya menghindari penderitaan yang sia-sia, tapi juga membuka pintu menuju pembebasan sejati dan kebahagiaan hakiki.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Semoga semua makhluk berbahagia, terbebas dari segala penderitaan, dan terlahir di alam yang jauh lebih bahagia.
Sadhu, Sadhu, Sadhu.
Bagaimana pengalaman penderitaan dalam hidup Anda justru membentuk kebijaksanaan? Bagikan ceritamu di kolom komentar.
Komentar (0)