Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Menjadi Wanita, Berkah atau Malapetaka?

Cari

Tampilkan Artikel

Menjadi Wanita, Berkah atau Malapetaka?

U.P. Vijjayanti Julyati Wibowo, S.Psi.

Kamis, 17 April 2025

MBI

Beberapa hari lagi, kita akan memperingati hari lahir Ibu Kartini, seorang tokoh, pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Beliau memperjuangkan agar wanita Indonesia memiliki persamaan hak dengan kaum pria. Namun hingga saat ini, gaung persamaan hak, kesetaraan dan pemberdayaan wanita masih terus dikumandangkan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan ini belum selesai. Masih ada kesenjangan antara wanita dan pria, masih ada perbedaan dan perlakuan yang tidak setara.


Kata wanita merupakan serapan dari bahasa Sansekerta, vanita, yang secara harfiah diartikan sebagai 'yang diinginkan'. Kemudian, kata tersebut diserap oleh bahasa Jawa Kuno menjadi wanita, lalu diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Di dalam budaya Jawa sendiri kata wanita diasimilasikan dengan kata “wani ditata” yang maksudnya bahwa wanita itu harus mau diatur oleh pihak pria, dalam hal ini ayahnya atau suaminya.

Bagaimana pandangan ajaran Buddha terhadap Wanita? Pada jaman pra Buddha dan jaman Buddha, wanita sangat tidak dihormati, di mana wanita saat itu direndahkan dalam strata, tidak diberi kesempatan untuk maju. Namun demikian, Buddha menyikapi sebaliknya. Di masa itu, Buddha sudah mengatakan bahwa kelahiran baik menjadi pria atau wanita adalah hal yang wajar. Dan seseorang menjadi baik tergantung bagaimana menjalankan Dharma dalam kehidupannya, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Bahkan saat Raja Pasenadi dari Kosala bersedih ketika mengetahui Ratu Malika melahirkan seorang bayi perempuan, Buddha berkata seorang anak perempuan akan menjadi keturunan yang lebih baik daripada pria karena ia melahirkan jiwa yang dapat memerintah dan membimbing manusia. (Samyutta Nikaya 1.86)

Selain itu Buddha tidak memandang status sosial dan juga memberikan kesempatan yang sama kepada wanita.  Buddha menggunakan istilah Matugama yang berarti ibu rakyat, atau perhimpunan kaum ibu, sebagai gambaran betapa besar peranan wanita dan penghargaan tertinggi yang diberikan Buddha kepada kaum wanita. (Matugama Sutta, Samyutta Nikaya 37.1)  

Buddha mengajarkan bahwa wanita memiliki hak yang sama dalam menentukan hidupnya. Mereka boleh memilih seperti kaum lelaki untuk menjadi seorang pabbajita, umat Buddha yang meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan sebagai anggota sangha atau menjadi gharavasa, umat Buddha yang memilih hidup berumah tangga.

Buddha memberikan kesempatan kepada wanita untuk menjadi seorang Samana, merestui didirikannya Sangha Biksuni yang dipimpin oleh Mahapajapati Gotami. Bahkan dalam sastra Buddha kuno (Therigata) tercatat 73 Biksuni diberikan gelar penghargaan Theri karena telah 10 tahun menjalani kehidupan sebagai Biksuni.

Selain itu, Buddha bukan hanya mempunyai siswa-siswa terbaik, tapi juga memiliki siswi-siswi terbaik. Dan bagi kaum wanita yang memilih menjadi perumah tangga, kondisi kita yang kadang juga disebut kodrat wanita yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan bahkan menopause tidak dijadikan sebagai hambatan, dikorbankan atau diabaikan. Dalam pandangan Buddhis, kita harus menyikapi kodrat wanita sebagai berkah karma baik karena wanita memiliki kesempatan untuk melakukan kebajikan yang tidak dapat dilakukan oleh seorang pria.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama Buddha mengajarkan bagaimana memperlakukan kaum wanita.  Persamaan hak dengan tidak membedakan wanita dan pria meski wanita memiliki kodrat yang berbeda, bukan berarti bahwa wanita bisa didiskriminasi, dieksploitasi, maupun dimanipulasi. Wanita diberi kesempatan melakukan pekerjaan yang sama dengan pria jika memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan pria. Dan wanita mempunyai kesempatan yang sama dengan pria untuk berinovasi dan menjadi pemimpin di berbagai bidang dan pekerjaan.

Maka seharusnya sebagai wanita yang meyakini ajaran Buddha, seyogianya bersyukur kepada Buddha dan ajarannya, Beliau mengajarkan untuk menghormati wanita, wanita mempunyai hak yang sama, dan kesempatan yang sama dengan kaum pria untuk memajukan dirinya. Dan ini dilanjutkan dari generasi ke generasi hingga sekarang.

Untuk itu wanita Buddhis sebaiknya bisa menggunakan peluang ini untuk belajar dan mengembangkan diri lebih baik agar memiliki hak yang sama, dihormati dan diberdayakan sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki tanpa harus meninggalkan atau mengorbankan kodratnya sebagai wanita.

Selamat berkarya dan menjadi wanita yang hebat, memberikan kontribusi yang baik di mana pun berada.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS