BERSIH DAN TERANG
U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra
Kalau membaca judul artikel ini, mungkin tidak banyak yang langsung paham apa yang sedang penulis ingin sampaikan, tetapi kalau kita menggunakan bahasa induknya, sebelum diterjemahkan pastinya hampir semua paham. Qing Ming atau Ceng Beng adalah bahasa lain dari Bersih dan Terang yang penulis maksudkan.
Ceng Beng setiap tahunnya dirayakan oleh etnis Tionghoa pada tgl 4 atau 5 April. Cuaca yang biasanya selalu cerah dan terang pada hari Ceng Beng dianggap sebagai waktu yang baik untuk mengenang dan menghormati leluhur, menjadi dasar terbentuknya tradisi ini.
Sejarah asal mula tradisi ini memang beragam sumbernya, ada yang mengatakan sejak dinasti Tang (abad ke-6 Masehi) bahkan ada yang mengatakan mulai dari dinasti Han (abad ke-2 Masehi), tetapi yang paling terkenal adalah versi raja Hong Wu, pendiri dinasti Ming (abad ke-13 Masehi). Diceritakan Zhu Yuan Zhang (nama kecil kaisar Hong Wu) lahir dari keluarga miskin dan hidup susah, sehingga pernah menjadi pengemis dan juga pernah menjadi biksu. Tetapi akhirnya bergabung dengan kaum pemberontak dan akhirnya bisa menggulingkan dinasti Yuan (Mongolia).
Setelah menjadi raja, kaisar Hong Wu teringat untuk kembali ke kampung halamannya, untuk bertemu dengan ayah dan ibunya. Tetapi ternyata orangtuanya sudah meninggal dunia, dan tidak tahu dimana kuburannya. Dan karena kesulitan untuk menemukan kuburan orangtuanya, akhirnya Kaisar memerintahkan kepada semua penduduk untuk membersihkan dan merapikan semua kuburan leleuhur mereka masing-masing, hingga tersisa satu kuburan yang tidak dibersihkan, yang kemudian diyakini sebagai kuburan orangtuanya.
Demikianlah, tradisi ini kemudian dilestarikan setiap tahunnya dan diwariskan turun temurun hingga saat ini. Ceng Beng dirayakan dengan berbagai tradisi seperti berziarah ke makam dengan membersihkan makam, mempersembahkan makanan kepada leluhur, hingga membakar kimcoa – kertas emas dan gincoa - kertas perak dan benda-benda replika dari kertas lainnya. Benda-benda replika saat ini pun mengikuti perkembangan jaman, terdapat replika barang mewah jaman now, ada jam tangan dan tas branded, mobil mewah (termasuk juga yang listrik), rumah dan apartemen, serta ada juga makanan siap saji modern seperti sushi, fried chicken, burger, dan kopi kekinian.
Umat Buddha boleh gak merayakan Ceng Beng?
Ada yang bertanya, apakah Ceng Beng kan bukan berasal dari tradisi Buddhis, itu dari agama yang lain, apakah boleh dilakukan oleh umat Buddha? Teman-teman, umat Buddha itu beragam etnisnya, jadi masing-masing mewarisi budaya dan tradisi masing-masing. Dan juga budaya atau tradisi ini lahir setelah jaman kedua nabi besar (Kong Cu dan Lao Tze), minimal kalau diambil yang paling jauh dari dinasti Han (abad ke-2 M) itu 7-8 abad setelahnya, karena mereka lahir sejaman dengan Sakyamuni Buddha (sekitar abad ke-6 SM).
Jadi tentu umat Buddha khususnya yang dari etnis Tionghoa bisa dan boleh ikut merayakannya. Namun, alangkah baiknya jika perayaan Ceng Beng oleh umat Buddha didasarkan pada pemahaman yang benar dan dilakukan juga secara benar sesuai dengan ajaran Buddha. Umat Buddha bisa mengubah tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha, tanpa menghilangkan makna penghormatan terhadap leluhur yang menjadi inti dari perayaan tersebut.
Secara tradisi ziarah ke makam dan membersihkan makam mendiang leluhur dilakukan seminggu sebelum atau sesudah hari Ceng Beng. Sekarang umumnya dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu terdekat karena faktor kesibukan. Bagi kita selaku umat Buddha tentunya tidak menjadikan masalah kapan melakukan ziarah dan membersihkan makam, karena hari terbaik bisa kapan saja saat kita siap melakukannya.
Bagi teman-teman yang tidak memiliki makam leluhur untuk dikunjungi karena jasad mendiang sudah dikremasi, dapat mengunjungi rumah abu dan membersihkan tempat menyimpan sisa perabuannya. Dan ketika tidak ada sama sekali tempat ziarah untuk dikunjungi, umat Buddha dapat mengenang mendiang leluhur dalam batin dan melakukan persembahyangan di rumah, karena inti dari perayaan Ceng Beng adalah mengenang dan menghormati leluhur.
Saat ziarah ke makam biasanya kita melakukan sembahyang dan melakukan sujud hormat. Bagi umat Buddha, memberi hormat dalam bentuk fisik bisa dalam posisi apa pun, bisa bersujud, atau hanya merangkapkan tangan, tidak menjadi masalah. Dan alih-alih bersembahyang meminta atau memohon sesuatu kepada leluhur, umat Buddha memanjatkan harapan agar leluhur berbahagia. Umat Buddha bisa membacakan paritta atau sutra dan mantra. Dengan getaran dari pembacaan paritta dan mantra ini akan ikut dirasakan oleh mendiang leluhur yang terlahir di alam yang memungkinkan untuk merasakannya, sehingga mereka merasa bahagia.
Bolehkah memberikan persembahan makanan?
Salah satu tradisi Ceng Beng juga adalah memberikan persembahan makanan kepada mendiang leluhur berupa makanan kegemaran semasa hidupnya. Banyak juga yang bertanya kepada penulis apakah ini boleh dilakukan umat Buddha? Buddha sendiri di dalam Pattakama Sutta menyampaikan kepada saudagar Ananthapindika bahwa ada lima persembahan yang bisa dan baik dilakukan oleh perumah-tangga, yakni: (1) persembahan kepada sanak keluarga; (2) persembahan kepada tamu; (3) persembahan kepada leluhur yang sudah meninggal; (4) persembahan kepada Raja (negara); (5) persembahan kepada Dewa.
Jadi jelas bahwa persembahan kepada orangtua atau leluhur yang sudah meninggal dunia itu dibolehkan. Walau tentu tidak mudah bagi mendiang leluhur yang telah terlahir kembali untuk menerima secara langsung persembahan makanan dari keluarganya. Hanya mereka yang terlahir di alam-alam tertentu saja yang dapat menerima persembahan makanan.
Tetapi ada juga bagian dari tradisi Ceng Beng yang kurang baik yang seharusnya ditinggalkan, misalnya membakar replika dan uang kertas. Alih-alih mendapatkan manfaat nyata untuk mendiang leluhur, tradisi membakar uang / benda replika dari kertas dapat membuat polusi udara dan merusak lingkungan hidup.
Daripada kita menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bahkan merugikan, kita dapat menggunakan uang tersebut untuk berdana kepada yang membutuhkannya. Kita dapat memberikan sumbangan kepada panti asuhan, panti wreda, atau panti sosial lainnya, baik atas nama pribadi maupun atas nama mendiang leluhur. Selain membantu orang lain tindakan ini juga dapat membawa harum nama mendiang leluhur.
Apa makna terpenting merayakan Ceng Beng?
Dalam Sigalovadda Sutta, Buddha mengingatkan kita akan tanggung-jawab anak kepada orangtuanya, yakni : (1) Merawat mereka di usia tua; (2) Membantu meringankan tugas dan beban mereka; (3) Menjaga tadisi keluarga (termasuk menjaga nama baik); (4) Menjaga harta warisan keluarga; (5) Melimpahkan jasa Kebajikan kepada mereka yang sudah meninggal.
Jadi merayakan Ceng Beng ini juga menjadi sarana bagi keluarga besar untuk berkumpul, karena biasanya kalau orangtua yang menjadi perekat sudah tidak ada, maka cenderung keluarga akan tercerai berai dan sibuk dengan keluarga kecilnya masing-masing. Menjaga tradisi keluarga dan menjaga keharmonisan sesama anggota keluarga.
Tentu yang paling penting adalah melimpahkan jasa kebajikan untuk orangtua yang sudah meninggal, sebanyak dan sesering mungkin, di luar peringatan Ceng Beng, Ulambana atau yang lainnya. Karena membalas kebaikan orangtua kita meskipun mereka sudah meninggal dunia tetap harus kita lakukan sebagai anak yang berbakti, karena hanya itu yang bisa kita coba lakukan mengingat Kebajikan orangtua tidak akan mampu kita balas dengan cara apapun.
Selamat merayakan Ceng Beng teman-teman. Ingat agama Buddha tidak pernah melarang kita melestarikan tradisi, selama itu baik dan bermanfaat.