Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • KEYAKINAN OFISIAL VS KEJAHATAN (Pentingkah Keyakinan Ofisial bagi seorang Buddhis!?)

Cari

Tampilkan Artikel

KEYAKINAN OFISIAL VS KEJAHATAN (Pentingkah Keyakinan Ofisial bagi seorang Buddhis!?)

Dr. Sulaiman, Ph.D

Jum'at, 14 Maret 2025

MBI

Saya pernah satu forum sebagai sesama panelis di sebuah acara, dengan seorang anak pengusaha Buddhis di Indonesia. Seorang peserta bertanya dengan sangat baik: “…sebagai seorang Buddhis, saya ada teman yang mengikuti praktik Buddhis dan menganggap ajaran Buddha sebagai pandangan hidup maupun spritualitas, tetapi teman saya tidak mau diajak masuk menjadi Umat Buddha!? Lantas bagaimana pandangan para narasumber terhdap ini dan strategi saya agar dia mau secara ofisial/resmi menjadi Buddhis!...” tanyanya.


Menariknya, ada sebuah argumen dari panelis Pengusaha ini dalam menjawab pertanyaan si penanya tersebut, akan saya ulas sebagai berikut:
Salah satu jawabannya: “…Tidak begitu penting menjadi Buddhis secara ofisial, …ada orang yang mengaku dirinya Buddhis secara ofisial tetapi melakukan perbuatan jahat!?...”

Izinkan saya mengulas argumen (jawaban abu-abu) tersebut, berikut poin-poinnya:
 
1.      Mungkin, dari jawaban rekan panelis tersebut Ia sedang instroskpeksi diri. Bahwa sebagai pengusaha Buddhis Ia menggunakan Officialy Buddhist hanya sebagai kendaraan politik praktis, dan atau mungkin juga ada keluarganya yang Officialy Buddhist yang melakukan korupsi atau kejahatan lainnya! (mungkin loh ya).
 
2.      Seorang Buddhis Ofisial melakukan kejahatan, demikian pula orang yang tidak beragama secara ofisial atau pun non Buddhis dapat melanggar hukum. Jadi jawaban tersebut tidak dapat mengenaralisasi adanya seorang Buddhis ofisial yang melakukan kejahatan sehingga “menjadi buddhis ofisial” tidak penting.
 
3.      Beberapa kisah kehidupan di zaman Buddha senada dengan jawaban abu-abu si panelis tersebut. Misalnya 1) Kisah Buddha bertemu dengan seorang petapa dari golongan Ajivika bernama Upaka setelah Beliau mencapai penerangan sempurna; 2) YM Ananda tidak mencapai tingkat kesucian walaupun sehari-hari dekat dengan Buddha; 3) YM Devadatta yang melakukan banyak kejahatan walau menjadi Biku dan kakak ipar Sidharta sendiri.  
 
Pertemuan Upaka yang tidak langsung berjodoh dengan ajaran Buddha; Bhante Ananda siswa utama Buddha, namun tidak mencapai kesucian pada saat itu; Biksu Devadatta yang jahat walau di dekat Buddha, kesemua itu tidak berarti bahwa keyakinan pada Triratna secara ofisial adalah tidak penting. Bahkan sebaliknya, bahwa dari kisah tersebut serta semua kejahatan yang kita sebagai umat Buddha maupun yang tidak beragama Buddha lakukan menandakan bahwa kita tidak benar-benar meyakini Triratna dan hukum-hukum universal yang diajarkan oleh Buddha misalnya tentang Hukum Karma.
 
4.      Secara personal saya menjadi Buddhis Ofisial (dari non-Buddhis) karena tertarik dengan semangat saintifik yang digemakan oleh Dharmaduta Buddhis saat itu dengan istilah EHIPASSIKO. Tetapi, seperti halnya sains, dasar-dasar pembuktian harus memiliki landasan konseptual yang diyakini diawal. Hal ini yang saat kini banyak disalah artikan oleh umat Buddha, Ehipassiko Kebablasan. Menjadi seorang Buddhis ofisial artinya menyatakan tekat sepenuhnya dan hanya bergantung pada Triratna untuk mencapai kebahagiaan sejati baik tercantum di KTP maupun tidak dibutuhkan di ID Card (seperti di Singapura).
 
5.      Nirwana adalah tujuan akhir umat Buddha. Non Buddhis boleh saja merasakan manfaat dari ajaran Buddha Universal. Misalnya dari ketenangan hasil bermeditasi, kebahagiaan saat mempraktikkan cinta dan welas asih universal. Akan tetapi, hanya melalui keyakinan terhadap Triratna barulah bisa mencapai pembebasan atau tingkat kesucian (mematahkan keragu-raguan terhadap Triratna). Banyak Sutta dan atau pun Sutra yang menyampaikan pentingnya keyakinan penuh kepada Triratna sebagai dasar mencapai penggugahan sempurna (Dhp. 190; Snp. 2.1; DN. 16; Avataṃsaka Sūtra; Saddharmapuṇḍarīka Sūtra).
 
Menyatakan tekad berlindung pada Triratna saja tidak menjamin seseorang mencapai nirwana, apalagi tidak dengan kesungguhan dan keyakinan penuh menjadikan Triratna sebagai landasan (praktik) dalam mencapai penggugahan sempurna. Menjadi diri kita yang terbaik sebagai seorang umat Buddha Ofisial adalah tugas perjalanan kita di kehidupan ini, karena kita telah berjodoh dengan Triratna. Selain itu mengedukasi dan mere-edukasi umat Buddha maupun para “simpatisan penikmat ajaran universal Buddha seperti pada kasus yang ditanyakan diatas” juga menjadi tugas kita agar mereka berjodoh meyakini Triratna sepenuhnya. Selebihnya, bukan lagi jangkauan kita, jika mereka memutuskan menjadi seperti Upaka, YM. Ananda, atau pun keputusan yang diambil oleh YM. Devadatta.  
 
***

Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu: Dukkha, sebab dari Dukkha, akhir dari Dukkha, serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir Dukkha. 
(Dhammapada 190-191)

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS