TERGANTUNG PADA SIAPA KAMU PERCAYA?
MBI
Jum'at, 17 Januari 2025
MBI
Buddha mengajarkan bahwa kepercayaan yang sejati bukanlah kepercayaan buta, melainkan keyakinan yang berdasarkan kebijaksanaan (paññā). Dalam Kalama Sutta, Buddha menasihati suku Kalama yang kebingungan karena banyak guru datang dengan ajaran berbeda-beda. Beliau tidak meminta mereka untuk langsung percaya, melainkan menguji dan memahami terlebih dahulu apa yang diajarkan.
"Janganlah percaya begitu saja karena sesuatu telah lama diajarkan. Jangan percaya hanya karena banyak orang mempercayainya. Percayalah ketika setelah merenungkannya dengan bijaksana, kamu melihat bahwa hal itu membawa manfaat dan mengurangi penderitaan."
Kepercayaan yang Seimbang
Dalam Buddhisme, kepercayaan (saddhā) yang benar adalah fondasi dari praktik spiritual. Namun, kepercayaan itu harus didampingi oleh kebijaksanaan. Kita harus menggali dan memahami ajaran-ajaran yang kita percayai sehingga kita tidak terjebak dalam dogma atau fanatisme. Kepercayaan buta dapat membawa kita pada penderitaan, sementara kepercayaan yang berdasarkan pemahaman membawa kita menuju kebebasan.
Kepercayaan yang baik adalah yang membuat kita:
1. Lebih bijaksana dalam menghadapi kehidupan.
2. Mengurangi penderitaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
3. Menjauhkan diri dari kejahatan dan memperkuat kebajikan.
4. Meningkatkan kasih sayang dan welas asih terhadap semua makhluk.
Percaya Pada Diri Sendiri
Buddha juga menekankan pentingnya percaya pada diri sendiri. Ini bukan berarti kita mengandalkan ego atau kesombongan, tetapi kita harus memiliki keyakinan bahwa kita mampu mengubah hidup kita sendiri melalui usaha dan kebajikan. Dalam Dhammapada, Buddha bersabda:
"Jadikan dirimu sendiri sebagai pelindung; jadikan Dharma sebagai pelita."
Artinya, kita tidak harus bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk mencapai kebahagiaan. Kepercayaan pada Dharma dan usaha kita sendiri akan membawa kita pada kebebasan sejati.
Untuk menyaring mana yang benar atau salah, mana yang bisa dipercaya atau tidak, Buddhisme menawarkan pendekatan berdasarkan kebijaksanaan dan pengalaman langsung. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa diterapkan:
Dalam Kalama Sutta (AN 3.65), Buddha memberi panduan yang sangat praktis untuk membedakan kebenaran:
· Jangan percaya hanya karena tradisi – Tidak semua yang sudah lama diajarkan berarti benar. Uji kebenarannya terlebih dahulu.
· Jangan percaya hanya karena banyak orang percaya – Popularitas tidak menjamin keabsahan.
· Jangan percaya hanya karena berasal dari otoritas – Sumber yang dianggap berwenang tidak selalu benar.
Sebaliknya, percayalah jika sesuatu:
· Selaras dengan kebaikan – Apakah ini mengurangi penderitaan atau justru menambahnya?
· Dapat diuji melalui pengalaman – Apakah dampaknya membawa kedamaian dan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain?
· Tidak melanggar moralitas – Apakah ini sesuai dengan nilai-nilai kebajikan (sīla)?
2. Menggunakan Tiga Pilar Kebenaran
Buddha mengajarkan bahwa kebenaran dapat diuji melalui tiga hal:
· Dharma: Apakah sesuai dengan ajaran universal tentang kebaikan dan kebajikan?
· Vinaya: Apakah sejalan dengan disiplin moral yang menjauhkan dari perbuatan buruk?
· Manfaat Praktis: Apakah hal ini menghasilkan kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan nyata?
3. Refleksi dan Pengalaman Pribadi
Buddha mengingatkan kita untuk menjadi pelita bagi diri sendiri (Attāhi attano nātho):
· Uji dalam kehidupan nyata: Apakah apa yang Anda percayai memberikan hasil yang positif setelah diterapkan?
· Amati dampak jangka panjang: Apakah hal ini membawa kedamaian atau justru menciptakan penderitaan?
Contoh: Jika seseorang mengatakan bahwa kemarahan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan konflik, uji kebenaran ini. Dalam pengalaman, apakah kemarahan benar-benar menyelesaikan masalah atau justru memperburuk keadaan?
4. Perhatikan Niat dan Konsekuensi
Dalam ajaran Buddha, niat (cetana) adalah inti dari karma. Untuk menilai sesuatu:
Tanyakan: Apa motivasi di balik ini?
Perhatikan: Apa dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain?
Jika niatnya penuh kebencian, keserakahan, atau kebodohan, maka hal tersebut cenderung salah. Sebaliknya, jika niatnya mengarah pada kasih sayang, kebijaksanaan, dan kemurahan hati, maka itu cenderung benar.
5. Waspada Terhadap Kepercayaan yang Emosional
Kepercayaan sering kali didasarkan pada emosi, bukan kebijaksanaan. Untuk menyaring, hindari keputusan yang terburu-buru. Luangkan waktu untuk: Merenung secara mendalam. Mengumpulkan informasi yang berimbang. Mendiskusikan dengan orang yang bijaksana.
6. Belajar dari Orang Bijaksana
Orang bijaksana dapat membantu kita menyaring kebenaran. Pilihlah guru, sahabat, atau komunitas yang: Menginspirasi dengan perbuatan, bukan hanya kata-kata. Membimbing tanpa memaksa.
Memiliki nilai-nilai moral yang baik.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat melatih kebijaksanaan untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan, sehingga kita tidak mudah tersesat atau tertipu. Semakin sering kita melatih cara ini, semakin tajam intuisi dan kebijaksanaan kita berkembang.
Jadi, tergantung pada siapa kita percaya? Percayalah pada apa yang membawa kebijaksanaan dan kedamaian, pada apa yang dapat mengurangi penderitaan. Percayalah pada Dharma, pada kebenaran yang bisa diuji dan dibuktikan dalam hidup ini. Percaya pada diri sendiri, pada kemampuan untuk terus berusaha menuju kebahagiaan tertinggi, Nirwana.
Semoga artikel ini menginspirasi kita semua untuk memiliki kepercayaan yang benar dan berdasarkan kebijaksanaan. Sadhu, sadhu, sadhu.
---
Komentar (0)