Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Parisida, Kenapa anak bisa tega melakukannya?

Cari

Tampilkan Artikel

Parisida, Kenapa anak bisa tega melakukannya?

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 20 Desember 2024

MBI

Belum lama ini kita dihebohkan oleh berita pembunuhan Ayah dan Nenek serta penganiayaan ibunya oleh seorang anak laki-laki berinisia MAS (14 tahun) di daerah Lebak Bulus. Banyak yang terheran-heran bagaimana mungkin anak kecil yang terlihat baik dan berprestasi serta dikhabarkan taat beragama bisa melakukan perbuatan sekeji itu?


Kejadian di atas dikenal dengan istilah PARISIDA, kata yang indah didengar tapi maknanya mengerikan, berasal dari kata parricide, yang artinya pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat. Bisa orangtua kepada anaknya, Suami kepada Istrinya atau sebaliknya. Seperti yang sering kita temui adalah orangtua yang stress berat membunuh seluruh anggota keluarganya, lalu bunuh diri, atau seperti kasus di salah satu Apartemen di Jakarta Utara, dimana orangtua mengajak semua keluarganya loncat dari lantai paling atas.

Tetapi kasus dimana anak kecil melakukan itu ke orangtua nya ini menjadi jauh lebih di luar nalar kita semua, dikarenakan keterbatasan anak itu sendiri. Dan ternyata kasus MAS ini bukan satu-satunya yang terjadi tahun ini. Juni lalu, KS, remaja perempuan berusia 17 tahun di Depok, Jawa Barat melakukan perilaku pembunuhan terhadap ayahnya. Berdasarkan keterangan yang disampaikan pada polisi, KS mengaku sakit hati lantaran dipukul, disebut anak haram, serta dituduh mencuri kartu ATM dan buku tabungan ayahnya.

Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi anak melakukan parisida?

Ada faktor internal, eksternal, dan gabungan keduanya, yang mendorong anak melakukan parisida. Secara internal, anak dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan emosionalnya. Misalnya merasa kecewa, sakit hati, tidak dihargai, marah, dan dendam. Kemudian itu juga dipengaruhi oleh ketidakmampuan menghadapi stres, konflik, dan mengalami gangguan mental.

Sementara faktor eksternal berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, dan hubungan interpersonal termasuk di keluarga. Contohnya saat anak tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, kebutuhannya tidak terpenuhi, dan hidup dikontrol oleh orang tua. Kondisi tersebut membuat anak merasa tertekan, sehingga bingung dalam bersikap dan menimbulkan kebencian terhadap orang tua. Dalam beberapa kasus, anak-anak menganggap parisida sebagai satu-satunya cara mengakhiri masalah.

Dalam pandangan Buddhis, pembunuhan orang tua oleh anak, adalah tindakan yang sangat berat dan dianggap sebagai salah satu Anantarika Karma / Akusala Garuka kamma yang memiliki konsekuensi serius dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang.

Ada lima perbuatan jahat paling berat yang segera menghasilkan buah karma negatif, tanpa penundaan.  Kelima perbuatan tersebut adalah: 1. Membunuh ibu; 2. Membunuh ayah; 3. Membunuh seorang Arahat (seseorang yang telah mencapai pencerahan); 4. Melukai Buddha; 5. Memecah belah Sangha (komunitas monastik Buddhis).

Dari kelima tindakan ini, membunuh ibu dan ayah berada dalam kategori tertinggi, karena orang tua adalah sosok yang memiliki jasa luar biasa dalam memberikan kehidupan, perawatan, dan kasih sayang kepada anak.

Mengapa membunuh Orangtua begitu berat?  Ada beberapa hal yang menurut penulis menjadi dasar pemikirannya. Pertama tentunya jasa Orangtua itu sendiri. Orang tua memiliki jasa yang sangat besar karena telah memberikan tubuhnya, darahnya, segalanya untuk membesarkan dan merawat anak, terutama Ibu. Buddha sendiri dalam beberapa sutra menyatakan bahwa jasa orangtua tidak akan bisa dibalas oleh anaknya.

Kedua, berkaitan dengan pelanggaran Sila / Moralitas.  Pancasila, sila pertama adalah bertekad melatih diri untuk tidak membunuh mahluk lain, bahkan juga termasuk tidak menyakiti mahluk lain.  Membunuh, terlebih terhadap orang tua, adalah pelanggaran berat terhadap nilai moral ini. Dan terntunya perbuatan ini akan berakibat karma yang berat.

Dalam hukum karma, kualitas suatu tindakan dinilai berdasarkan motivasi, objek, dan konsekuensinya. Membunuh orang tua melibatkan: Motivasi negatif (kebencian, kemarahan, atau ketamakan); Objek yang sangat berjasa (ibu dan ayah); Konsekuensi besar (mencabut nyawa orang tua yang berperan penting dalam kehidupan anak).

Dan akibat dari tindakan parisida ini akan menyebabkan pelaku terlahir di Neraka Avīci, neraka terdalam dan terberat dalam siklus kelahiran kembali (saṃsāra), di dalam kosmologi Buddhis. Dan akibat karma ini termasuk karma yang berbuah langsung setelah kematian.

Tapi tentu di dalam ajaran Buddha, meskipun karma buruk dari perbuatan membunuh orangtua sangat sulit untuk dihapuskan, tapi bukan berarti selamanya pelaku akan menderita terus di neraka Avici itu. Pertobatan yang tulus dan perbaikan moral dapat membantu seseorang untuk mengembangkan kondisi batin yang lebih baik dan mengurangi penderitaan di kehidupan mendatang (setelah habis masa kelahiran di alam neraka Avici yang lama).

Praktik seperti, melakukan perbuatan baik (dana, sila, bhavana), dan membangun kesadaran penuh (mindfulness) agar tidak mengulangi tindakan serupa dapat membantu seseorang untuk menghadapi konsekuensi karmanya dengan lebih bijaksana.

Devadatta dan Ajatasatu adalah contoh di jaman Buddha dimana mereka melakukan Akusala Garuka Kamma. Ajatasatu membunuh ayahnya raja Bimbisara karena mengejar tahta kerajaan, sementara Devadatta melukai Buddha dan memecah belah Sangha. Devadatta meninggal dengan cara yang sangat mengerikan, mati ditelan bumi dan terlahir langsung di alam neraka Avici, tapi kata Buddha nanti jauh di masa yang akan datang, Devadatta akan terlahir sebagai seorang Pacceka Buddha.

Tentu ini bukan sebuah pembenaran, bahwa toh yang melakukan perbuatan jahat yang parahpun ujung-ujungnya bisa jadi Buddha juga. Tapi penulis hanya ingin mengatakan bahwa hukum alam yang bernama karma ini sangat adil. Semua akan berbuah dan kembali kepada pelakunya, sesuai dengan benih yang ditanam dan kondisi yang diciptakan. Dan semua ada masa waktunya, bukan abadi selamanya. Sehingga baik yang buruk maupun yang baik, juga tidaklah abadi, semua menunggu giliran untuk berbuah, kecuali kita memotong rantai berbuahnya karma itu, yakni memotong kelahiran kembali.

Tentu di akhir artikel ini, karena lusa kita memperingati hari Ibu, penulis ingin menyampaikan Selamat Hari Ibu kepada semua wanita yang menjadi orangtua, siapapun yang membaca artikel ini. Terima kasih sudah menjadi Ibu yang bajik dan bijak bagi anak-anaknya dan teruslah menjadi bajik dan bijak. Anak-anak anda membutuhkan teladan hidup untuk mereka bertumbuh-kembang. Dan untuk anda yang masih memiliki Ibu, sampaikan rasa cinta anda kepada mereka selagi masih ada waktu.

Doa kita, semoga tidak ada lagi Ibu dan Ayah dimanapun melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap anaknya sendiri. Dan tidak ada anak yang tega melakukan pembunuhan kepada orangtuanya.

Buat Mama, dimanapun berada.  Selamat Hari Ibu.  Salam Cinta dari anakmu.

Sumber :
(Parisida: Fenomena Mengerikan Saat Anak Membunuh Orang Tua)

Share:

Komentar (1)

Sudy Halim

Kamis, 26 Desember 2024 14:12

Namo Buddhaya, Romo. Terima kasih atas ceramah dhammanya! Merry Christmas and Happy new year !

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS