Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

U.P. Vidyananda Sehi

Warisan

MBI

Sabtu, 14 Desember 2024

MBI

Dalam Sigalovada Sutta, Buddha memang menyatakan bahwa memberikan Warisan pada waktu yang tepat, adalah kewajiban orangtua kepada anaknya, tetapi anak juga punya kewajiban untuk mempersiapkan diri untuk bisa menerima warisan kekayaan itu.   Bila anak-anak tidak siap, maka mewariskan harta (duniawi) kepada mereka bisa jadi bencana.


Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.  Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan.  Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya.   Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya, "Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami?  Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda?  Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita?"  Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya.

Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi mantunya menuntut dan berkata, "Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan!" dan juga hal-hal lain.  Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua.  Hal yang sama juga terjadi.  Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satupun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan yang layak kepadanya.

Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan anak-anaknya.  Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi biksuni.  Karena ia dulu ibu dari banyak anak maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika.   Bahuputtika menyadari bahwa ia menjadi biksuni pada usia tua dan oleh karena itu ia seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu.   Ia hendak menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dharma yang telah diajarkan Buddha.

Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari wihara Jetavana.   Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau, dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu. Kemudian Buddha berkata ,"Kehidupan seseorang yang tidak pernah mempraktekkan Dharma ajaran Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun."
Kemudian Buddha membabarkan syair 115 berikut :  Walaupun seseorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dharma (Dhammamuttamam), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dharma.

Kisah-kisah warisan seperti di zaman Buddha ini sampai sekarang juga masih sering kita temui.   Ada cerita dari negara tetangga Singapura, yang setelah Papanya seorang pengusaha besar memberikan warisan ke anaknya, malahan Papanya ditelantarkan menjadi seorang pengemis, sampai mantan perdana menteri Singapura meminta pengadilan membatalkan hak warisan anaknya.

Renungkan lah bagaimana hal-hal seperti ini jangan berulang pada keluarga yang kita sayangi.  Buatlah wasiat tertulis maupun lisan, pembagian warisan setelah anda pindah alam, karena banyak juga cerita-cerita yang tidak baik tentang saudara-saudara dan keluarga yang ribut mengenai warisan orang tuanya, yang terjadi sebelum jenazah orang tuanya dikebumikan.

Sebagai seorang Buddhis, kita harus berusaha supaya kisah-kisah diatas tidak terjadi di keluarga kita.   Jadikanlah Dharma Ajaran Buddha sebagai pedoman kehidupan sehari-hari, jadilah teladan dalam praktek Dharma bagi anak-anak, sehingga dari kecil hingga dewasa, anak-anak sudah belajar ajaran Buddha.  Anak-anak semenjak kecil bukan saja belajar di sekolah umum tetapi juga belajar Dharma di Sekolah Minggu Buddha, sampai jenjang-jenjang selanjutnya.

Dalam Sigalovada Sutta, Buddha memang menyatakan bahwa memberikan Warisan pada waktu yang tepat, adalah kewajiban orangtua kepada anaknya, tetapi anak juga punya kewajiban untuk mempersiapkan diri untuk bisa menerima warisan kekayaan itu.   Bila anak-anak tidak siap, maka mewariskan harta (duniawi) kepada mereka bisa jadi bencana.

Wariskanlah Dharma yang luhur kepada keturunan kita, sehingga anak-anak tumbuh menjadi anak yang berbakti, bermanfaat untuk diri mereka sendiri, bermanfaat untuk keluarga, masyarakat dan semua makhluk, sehingga kisah-kisah di atas tidak terjadi lagi.

“Para Biksu, ada dua jenis kekayaan.  Apakah kedua itu? Kekayaan benda materi dan kekayaan Dharma.  Ini adalah kedua jenis kekayaan.  Di antara kedua jenis kekayaan ini, kekayaan Dharma adalah yang terunggul.”  (Anguttara Nikaya 2.145)

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS