Kesetiaan Wanita VS Masalah KDRT
U.P. Vijjani Kumari Venita
Jum'at, 01 November 2024
MBI
Cerita Istana Perempuan Setia / Patibbatavimana merupakan salah satu kisah perjalanan Bhante Maha Moggallana ke surga. Cerita yang terdapat dalam Khuddaka Nikaya tersebut merupakan salah satu dari banyak kisah tentang penghuni surga. Selain istana tersebut juga terdapat Istana Pemberi Lampu, Istana Pemberi Tempat Duduk dan lain lain. Namun kali ini kita akan menceritakan tentang si penghuni Istana Perempuan Setia. Diceritakan bahwa dewi yang menghuni istana ini dulunya adalah seorang perempuan setia. Dituliskan dalam sutta ini bahwa dia hidup harmonis bersama suaminya. Kepada Bhante Moggallana ia mengatakan “Ketika saya terlahir sebagai manusia diantara manusia saya merupakan istri yang setia, karena tidak memikirkan (laki-laki) lain. Bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya, saya tidak mengucapkan kata-kata kasar sekalipun ketika saya marah.”
Cerita istana perempuan setia ini memberikan pemahaman bahwa seorang wanita seharusnya setia dalam pernikahannya, tidak berpaling kepada pria lain. Namun dari cerita ini ada yang lantas menafsirkan secara keliru bahwa seorang wanita haruslah tetap dalam pernikahannya, walau apapun yang terjadi selama pernikahan itu.
Dalam masyarakat dewasa ini banyak sekali ditemukan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga ini mulai dari tingkatan kekerasan secara verbal sampai pada kekerasan fisik. Pihak wanita yang biasanya menjadi korban dalam kekerasan rumah tangga adalah pihak yang paling menderita. Ada kalanya mereka harus menelan penderitaan selama bertahun tahun.
Saya pernah menceritakan tentang seorang wanita muda bersama ayahnya yang kebetulan dijumpai ibu saya dalam perjalanan bis kecil dari Jakarta. Si ayah menceritakan bahwa mereka habis berobat di Jakarta. Wanita muda itu yang ternyata adalah putrinya mengalami kebutaan karena matanya mengalami pukulan dari si suami. Jadi wanita ini mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan karenanya ia akan mengalami kebutaan seumur hidupnya.
Bayangkan bila hal ini terjadi pada anak perempuan kita, adik kita, sahabat karib atau mungkin pada ibu kita sendiri. Betapa sakit dan sedihnya kita tentunya.
Pernikahan adalah hal yang kita harapkan akan harmonis tentunya seperti yang dialami oleh dewi penghuni istana perempuan setia tersebut. Namun tidak selalu hal ini yang terjadi. Buddha sendiri telah berkata bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah tidak pasti.
Betul bahwa dengan adanya pernikahan berarti terdapat ikatan karma yang kuat di masa lampau antara suami dan istri. Namun ikatan karma yang kuat bukan berarti bahwa pernikahan haruslah dipertahankan seandainya salah satu pihak mengalami penderitaan yang bertubi tubi. Jika banyak pihak yang telah berusaha mendamaikan keadaan dalam pernikahan tersebut namun tetap tak bisa, dan kita masih mendorong agar si istri tetap berada di pernikahan maka itu sama saja kita menjadi orang yang membantu agar karma buruk si istri terus berbuah. Istri yang telah menjadi korban dari suami malah mendapat penyalahan lagi dari orang di sekitar: itulah karma mu, terimalah karmamu.
Mendapatkan pasangan yang kurang baik, yang sering melakukan kekerasan fisik dan verbal, yang gemar berselingkuh atau main wanita, yang hobi berjudi atau memghabiskan harta keluarga serta sederet kebiasaan buruk lainnya memang ada sebabnya di kehidupan lampau. Di masa lampau ada sebab perbuatan yang buruk. Namun perlu kita ingat pada diri semua orang juga ada potensi buah karma baik yang siap berbuah. Termasuk pada diri wanita wanita yang mengalami KDRT. Tidak semua potensi karma yang ada pada mereka adalah karma buruk. Lantas mengapa kita tidak menjadi orang yang membantu agar karma baik itu berbuah. Ingatlah bahwa kalaupun si wanita hidup sendiri, ia tetap memiliki potensi untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Membesarkan anak anak menjadi orang berguna, berkarir, membuka usaha sendiri yang sukses, menyaksikan anak anak menikah, merawat cucu, berteman dengan banyak orang atau bahkan keliling dunia.
Memiliki pendapat bahwa seorang istri haruslah tetap bertahan dalam rumah tangga sekalipun ia mengalami KDRT dikarenakan ia perlu bergantung pada suaminya secara ekonomi adalah pendapat yang ketinggalan zaman dan cenderung tak berpihak pada kemandirian wanita. Pendapat seperti ini adalah pendapat yang bersifat patriakal dan meremehkan kemampuan wanita untuk mandiri dan berdaya.
Belum lama penulis membaca mengenai lima arahan Presiden terdahulu kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Salah satunya adalah peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan. Artinya hulu dari lima isu yang menjadi arahan presiden tersebut adalah perempuan harus berdaya secara ekonomi. Dalam pelaksanaannya Kementerian PPPA fokus pada perempuan prasejahtera, perempuan kepala keluarga, dan perempuan penyintas. Ini berarti bahwa negarapun sangat mendukung dan mendorong kemandirian wanita.
Umat Buddha pasti sudah sangat mengenal hukum ketidakkekalan. Buddha mengatakan bahwa segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal. Jadi ya termasuk pernikahan itu juga karena pernikahan itu sendiri adalah suatu hal yang berkondisi. Pernikahan dapat berakhir karena karena suatu sebab. Sebab itu dapat karena kedua pihak memutuskan untuk tidak meneruskan lagi hubungan ataupun karena kematian. Jadi putusnya suatu pernikahan bukan dikarenakan salah satu pihak tidak setia. Dan bertahannya pernikahan bukan pula berarti bahwa pasangan tersebut keduanya setia. Memaksakan tetap bertahannya pernikahan dengan anggapan wanita harus nrimo keadaan supaya bisa dianggap sebagai istri baik dan setia adalah pandangan keliru. Karena kesetiaan istri jelas jelas tidak ada sangkut paut dengan bertahan dalam hubungan yang toksik dan merusak.
Memang kita sebaiknya menghindari menyarankan perceraian. Namun kita tidak seharusnya pula membiarkan satu pihak menderita terus menerus sementara ada jalan keluar yang bisa ditempuh. Bertahan dalam penderitaan bukanlah bentuk kesetiaan seperti juga keluar dari neraka pernikahan bukanlah merupakan pelanggaran sila ketiga dalam Pancasila Buddhis.
Kekerasan bagaimanapun bukan cuma mempengaruhi dari segi fisik saja namun juga dari segi mental. Belum lagi anak anak akan tumbuh dalam lingkungan yang tak sehat untuk pertumbuhan jiwa mereka. Betapa banyak anak lelaki yang saat dewasanya tumbuh menjadi pemberang dan pelaku kekerasan terhadap istri ataupun anak mereka dikarenakan saat kecil mereka menyaksikan ayah mereka ‘memberi contoh‘ memukuli ibu mereka.
Terakhir saya ingin memberi contoh tentang kasus yang terjadi di Makasar dimana seorang suami membunuh istrinya dan lalu mayatnya dicor dengan semen. Kekejian ini akhirnya terbongkar karena pengakuan sang anak yang semula bertahan karena diancam sang ayah. Cerita pembunuhan ini tadinya diawali dengan cekcok rumah tangga terus menerus sehingga akhirnya terjadilah hal yang sadis tersebut. Bayangkan betapa hancurnya hati seorang anak. Kematian seorang ibu saja sudah memberikan duka yang mendalam apalagi jika kematian tersebut dengan cara yang sadis seperti ini. Trauma yang mendalam sudah pasti akan menghantui seumur hidup anak tersebut.
Teringat kata-kata Ayya Thitacarini dalam suatu webinar, “jangan sampai pisau sudah ditempel ke leher tapi terus diam saja, pasrah saja, ini tidak bijaksana juga”, demikian ujar Ayya. Saya meyakini bahwa para rohaniwan seperti anggota Sangha ataupun pandita dapat berperan membantu dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga karena mereka-mereka ini banyak dijadikan tempat curhat dan berkeluh kesah oleh umat. Namun patut diingat bila situasi pernikahan sudah di ujung tanduk akibat KDRT, tidak sepatutnya kita menyuruh pihak yang menderita untuk terus bertahan dalam. Pernikahan tersebut karena hal tersebut tidak ada hubungan dengan kesetiaan seorang istri. Jika kita tidak bijak maka tidak tertutup kemungkinan kita akan menyaksikan terulangnya kasus di Makasar tersebut.
Komentar (2)
Reannie Puspasari
Jumat, 29 November 2024 10:48
benar sekali dan saya setuju. Kalau suami KDRT lebih baik berpisah saja untuk apa di pertahankan.
Sudy Halim
Sabtu, 16 November 2024 15:56
謝谢