Pacaran diongkosin, Nikah dibayarin. Mau dong!
U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra
Jum'at, 27 September 2024
MBI
Pernahkah teman-teman membayangkan kalau Negara ikut terlibat dalam urusan yang sangat privasi warganya seperti pacaran, menikah dan memiliki anak? Belum lama ini, penulis membaca sebuah artikel yang sangat menarik, bahwa di Korea Selatan ada sebuah program bagi warganya yang serius berkencan. Pemerintah Korea akan membiayai kencan mereka senilai 500.000 won (sekitar Rp 5.7 juta), lalu diberi tambahan 1 juta won (Rp11,4 juta) jika pasangan melakukan pertemuan dengan keluarga untuk membahas pernikahan. Dan apabila akhirnya pasangan itu serius untuk melangsungkan pernikahan, pemerintah akan memberikan 20 juta won (Rp230 juta) sebagai hadiah. Tak sampai di situ saja, para pasutri muda ini juga akan mendapatkan privilege khusus berupa harga sewa rumah yang rendah. Mereka hanya perlu membayar 30 ribu (Rp345 ribu) per bulan. Menarik bukan?
Dikutip dari situs Korea.net, Kamis (29/8/2024), program ini dikeluarkan demi meningkatkan angka kelahiran di Korea Selatan yang sejak tahun 2021 mengalami penurunan. Data sensus menyebut total populasi Korsel pada 2023 hanya berkisar 49.84 juta orang. Angka ini menunjukkan terjadinya penurunan populasi sebanyak 101 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut laporan, penurunan populasi di Korea Selatan sendiri disebabkan oleh semakin banyaknya warga yang berhenti berkencan dan menikah. Alhasil angka kelahiran di negara tersebut semakin rendah. Presiden Korea Selatan bahkan menyebut masalah ini sebagai krisis nasional. Pemerintah lalu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi krisis populasi ini, seperti membentuk kementerian khusus yang bertugas merancang strategi dan perencanaan kependudukan. Pemerintah daerah dan pihak swasta juga turun tangan mengatur kencan bagi warga yang masih lajang. Bahkan, Yayasan Buddha seperti Korean Buddhist Foundation for Social Welfare pun ikut ambil bagian.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara Korea Selatan, tapi juga di banyak negara maju lain seperti Jepang, Singapura dan banyak negara di Eropa yang juga memberikan insentif khusus untuk mereka yang mau memiliki keturunan. Kenapa fenomena ini bisa terjadi? Kenapa semakin banyak yang enggan untuk menikah dan memiliki keturunan?
Menurut pendapat penulis, hal ini dikarenakan semakin terdidiknya generasi sekarang dan makin banyaknya informasi yang mereka terima mengenai pernikahan dan urusan membina keluarga. Belum lagi pengalaman yang mereka temukan sendiri di dalam keluarganya kecil mereka masing-masing, yang tingkat kompleksitasnya jauh lebih besar ketimbang keluarga kakek-nenek mereka dulu. Munculnya sebuah kesadaran baru bahwa menikah atau membina rumah tangga bukan perkara mudah, butuh pengorbanan besar akan banyak hal, termasuk mengganggu privasi dan kesenangan pribadi mereka. Apalagi untuk memiliki keturunan, lebih berat lagi tanggung jawab dan pengorbanannya.
Jangankan generasi Z (yang lahir tahun 1995-2012) yang lebih melek informasi, generasi Milenial (lahir tahun 1977-1994) dan bahkan sebelumnya juga sudah mengarah ke sana. Rata-rata pasangan sekarang hanya memiliki sedikit anak, bahkan tidak jarang memilih untuk tidak memiliki keturunan walau menikah. Frasa “Banyak anak banyak rejeki” sudah tidak berlaku lagi bagi kehidupan jaman sekarang. Mereka sadar akan sulitnya merawat dan membesarkan anak, ditengah himpitan ekonomi yang tidak menentu dan perubahan pola hidup bermasyarakat. Banyak anak menjadi setengah mati. Ketakutan akan kegagalan dalam merawat anak menjadi konsen yang serius di mata mereka. Belum lagi trend “keluarga inti” yang menjadi keniscayaan hidup saat ini, dimana manusia makin terbiasa hidup dalam keluarga yang kecil, yang hanya terdiri dari orangtua dan anak, tanpa bantuan dan dukungan keluarga besarnya (kakek, nenek, paman, bibi) dan terlebih lagi lingkungan sekitarnya. Bahasa kerennya “Elu elu Gue gue..”
Dalam ajaran Buddha, pernikahan adalah pilihan bukan kewajiban. Tidak ada kita temukan Buddha melarang ataupun mewajibkan kita siswanya untuk menikah atau tidak menikah. Yang ada adalah peraturan Negara, mereka yang sudah berusia di atas 19 tahun (berdasarkan UU 1 tahun 1974) boleh melangsungkan perkawinan menurut agamanya, tapi juga boleh memilih untuk tidak menikah. Kondisi masing-masing orang berbeda, kita tentu tidak bisa memaksakan.
Mereka yang memilih untuk menikah/berumahtangga (gharavasa) memiliki tugas dan tanggungjawab yang tidak kalah sulitnya dari para pabbajita (pertapa/biksu/biksuni) yang berlatih dalam kedisiplinan dan aturan. Bahkan menurut pendapat penulis pribadi, justru pilihan berumahtangga adalah pilihan yang paling sulit, karena tanggung jawabnya bukan hanya ke diri sendiri tapi ke banyak pihak, ke keluarga intinya sendiri dan juga ke keluarga besar dari kedua pasang suami istri tersebut. Loh kok sudah tahu sulit kok pada mau? Itulah kebodohan (moha) dan nafsu (lobha) yang terus membelenggu kita.
Kesulitan yang bisa dikatakan utama adalah soal ekonomi. Jaman sekarang hampir semua pasangan suami istri harus bekerja. Bukan karena mereka sangat ingin bekerja, tetapi karena terpaksa harus sama-sama kerja untuk bisa memenuhi beban biaya rumah tangga yang besar, terlebih kalau mereka memiliki anak. Permasalahan pemenuhan biaya hidup ini bisa merembet ke masalah lain, seperti pola asuh anak, tingkat stress yang tinggi, perselingkuhan, dan lain sebagainya. Makanya frasa membina keluarga Hitaya Sukhaya (sejahtera dan berbahagia) menjadi sangat relevan. Sejahtera (secara ekonomi) dan Bahagia (secara batin) menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
Jadi, itulah kenapa pemerintah Korea dan negara lain merasa harus turun tangan memberikan insentif bagi anak-anak muda di sana. Karena bisa jadi negaranya akan punah karena penduduknya semakin sedikit. Tapi ini cerita di negara maju, yang warganya tidak mudah diimiingi hadiah dan uang, untuk sesuatu yang menyangkut kehidupan mereka. Masa depan mereka, Kebahagiaan mereka. Istilahnya “Kebahagiaan tidak bisa dibeli”.
Penulis membayangkan kalau program seperti ini diterapkan di negara kita Indonesia, apa yang akan terjadi? Atau mungkin ada yayasan Buddha yang mau berpartisipasi, mengingat katanya umat Buddha semakin menurun jumlahnya di Indonesia. Mungkin program seperti ini bisa untuk mendongkrak populasi umat Buddha? Ada yang tertarik? Selamat berandai-andai.
Sumber :
Pacaran hingga Nikah di Korea Selatan Bakal Ditanggung Pemerintah (idxchannel.com)
7 Negara yang Berikan Subsidi Program Kehamilan untuk Warganya (idntimes.com)
Komentar (0)