Lebih Berharga Mana, Melayani Orang Mati atau Orang Hidup?
U.P. Mita Kalyani Irma Gunawan
Jum'at, 06 September 2024
MBI
Praktik menyentuh bumi mengandung perenungan yang mendalam dan makna bahwa tubuh kita berasal dari darah para leluhur. Bagaimana mungkin kita "teledor" menyadari bahwa elemen-elemen tubuh kita adalah keberlanjutan dari para leluhur? Kita bahkan bisa jijik dan takut melihat ketidaksempurnaan jasad orang tua pada saat terakhirnya, yang mana dalam tubuhnya terdapat komposisi saya dan para leluhur.
Pada satu kesempatan berbincang dengan seorang ibu pandita spesialis pelayanan duka, penjelasan beliau membangunkan kesadaran dan welas asih baru dalam diri saya. “Walaupun itu hanya jenazah, kita tetap harus menghormati dan memperlakukannya dengan hati-hati. Mulai dari membersihkannya, mengenakan pakaian terbaik atau favorit, hingga memasukkannya ke dalam peti, semua proses itu harus dilakukan dengan penuh rasa hormat, sambil membacakan doa atau paritta. Itu bukan sekedar mayat, anggota keluarga atau orang-orang terdekat harus ingat jasa-jasa kebajikan mendiang kepada mereka pada saat dia masih hidup.
Kita cukup sadar bahwa melihat wujud terakhir mendiang sudah pasti bukan hal yang menyenangkan untuk diingat. Namun berkat keahlian perias wajah jenazah, wajah yang berantakan pun menjadi cantik dan ganteng seperti sedang akan menghadiri hajatan besar. Dokter akan merapikan fisik jenazah dan petugas kamar jenazah akan mengurusinya dengan sigap dan berani. Bukankah melakukan pekerjaan tersebut membutuhkan ekstra keberanian? Kita juga tentu harus berterima kasih kepada orang-orang yang telah menghasilkan penampilan terbaik mendiang, sehingga orang-orang yang ditinggalkan dapat tetap tenang selama proses kedukaan.
Dari Air Mata Menjadi Lupa Siapa
Ketika ajal kematian seseorang sedang tiba, anak anak (putra-putrinya) tidak dapat menolong, juga ayah tidak dapat memberikan perlindungan, begitu pula sanak keluarga tidak dapat membantu.
Menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menolong dirinya dari kematian, maka orang bijaksana yang penuh pengendalian diri seharusnya segera membersihkan semua rintangan, jalan menuju Nirwana. (Dhammapada 288 & 289 )
Peristiwa kematian memang biasanya menimbulkan banyak air mata bagi keluarga atau orang-orang yang karena merasa sayang, memiliki kedekatan yang melekat, hingga rasa penyesalan akibat ada yang belum dituntaskan dengan mendiang.
Tanpa mengurangi hormat dan kesedihan mendalam, ijinkan penulis untuk membeberkan beberapa pengalaman memprihatinkan selama prosesi tersebut. Perbedaan agama antara orang tua dan anak atau sanak keluarga ternyata sering menjadi persoalan serius yang tidak dapat diabaikan semasa kita masih hidup. Pernah terjadi, si anak beda agama dengan orang tua dan dia paling mapan di keluarganya, juga dianggap yang paling menentukan tata cara prosesi kedukaan. Praktik prosesi kedukaan yang dilakukan tidak sesuai dengan keyakinan si orang tuanya yang meninggal. Bahkan pencucian dosa dan jaminan sorga menjadi iming-iming serius sebagai perpindahan alam yang lebih menjanjikan. Alasan lain, karena keluarga tidak ada yang sama agamanya, tidak ikut baca doa dengan alasan beda cara atau sibuk melayani tamu. Mirisnya, hanya Sangha/Pandita/tim pelayanan duka yang baca doa avamangala di depan mendiang.
Dari Wihara Disalahkan Hingga Umat Dilupakan
Apakah anda sering mendapat kritikan pedas tentang kurang perhatian dan tidak kompaknya komunitas Buddhis saat ada umat yang mengalami kemalangan atau kedukaan? Penulis sering mendapat cemoohan tentang hal tersebut! Marah? Tersinggung? No worry, anggap saja ini untuk perbaikan sadar diri dan harus lebih sigap tanggap terhadap penderitaan orang lain.
Bila digali lebih dalam kepada si umat yang protes, ternyata si mendiang ataupun pihak keluarga mendiang, ada yang tidak pernah ke wihara, tidak ada kenalan pengurus atau bahkan jarang terlibat di kegiatan wihara atau komunitas. Tetap saja timbul cemoohan bahwa agama Buddha tidak peduli kesulitan umat, beda dengan agama tetangga. Setelah itu, jadi alasan untuk pindah agama.
Persoalan pelayanan seperti ini memang tidak bisa dianggap remeh, walaupun ada perdebatan argumen dari setiap pihak. Bila dasar praktik Bodhicitta untuk semua yang menderita dan membutuhkan pertolongan, lantas apa yang harus diperbaiki? Birokrasi? Beda mazhab? Bukan kalangan sendiri? Atau apa?
Beberapa pelayan Dharma yang tulus saat pelayanan kedukaan juga tetap mengalami pengalaman berharga yang mencerahkan. Dengan praktik pelayanan yang tidak tebang pilih, pendekatan yang bersahabat dan sambil memberikan edukasi atau wejangan Dharma yang menyentuh hati keluarga yang sedang berduka, ternyata mampu membawa pulang para umat Buddha tradisi atau yang tersesat dalam mencari kebenaran, untuk kembali ke ajaran Buddha yang dapat dijelaskan tanpa rahasia.
Lebih Berharga Mana, Melayani Orang Mati atau Orang Hidup
Sebagaimana dinyatakan dalam Anguttara Nikaya 5.38:
Lebih besar dari segala bentuk pemberian adalah pemberian Dharma; lebih besar dari segala bentuk pelayanan adalah pelayanan Dharma.
Untuk memenuhi kebutuhan spiritual seseorang dalam pelayanan kepada umat, baik hidup maupun mati, adalah tugas yang mulia. Dalam ajaran Buddha, fokus utama adalah pada pengembangan diri dan melayani makhluk hidup yang masih memiliki kesempatan untuk mengubah hidup mereka dengan cara mendengarkan Dharma, melatih kebajikan, dan mengembangkan jalan menuju pembebasan.
Dalam Sigalovada Sutta (Digha Nikaya 31), Buddha mengajarkan pentingnya memberikan perhatian dan dukungan kepada anggota keluarga, termasuk dalam situasi kedukaan.
Melayani dalam prosesi kedukaan, tidak hanya tentang menghormati mereka yang telah tiada. Tetapi juga dapat menjadi sarana untuk menyebarkan Dharma, yang pada akhirnya bermanfaat bagi yang hidup dan yang telah tiada.
Selamat melayani yang hidup dan yang telah tiada!
Komentar (0)