Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Memandikan Buddha, Membersihkan Batin

Cari

Tampilkan Artikel

Memandikan Buddha, Membersihkan Batin

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 17 Mei 2024

MBI

Wo cin kuan mu cu ru lai, cing ce cuang yen kung te hai
Wu cuo cong shen li chen khou, thong cen ru lai cing fa shen

Saat ini Saya hadir untuk memandikan Buddha. Yang kemurnian, kebijaksanaan, jasa dan kebajikannya seluas samudera. Semoga semua makhluk hidup terbebas dari lima kekeruhan duniawi. Dan bersama-sama merealisasi Dharmakaya yang sempurna. 


Waisak telah tiba, umat Buddha bersukacita. Kelahiran calon Buddha di taman Lumbini, Nepal lebih dari 2.600 tahun yang lalu, seperti termanifestasi ketika penulis memandikan (bayi) Buddha, yang menurut kisahnya secara ajaib bisa berjalan 7 langkah dan memunculkan teratai di atas tanah (bukan di atas air) yang diinjak, di saat kelahirannya sebagai Sidharta. Rasa haru memandang perwujudan Buddha di hadapan penulis dan menyirami tubuhnya sambil mendaraskan mantra, menciptakan suasana yang mendayu-dayu di batin penulis. Melow sekali kesannya.

Tapi itulah yang terjadi. Walau sederhana dan diikuti puluhan orang saja, kebaktian Yi Fo beberapa hari yang lalu di Prasadha jinarakkhita sangat berkesan. Sama halnya minggu lalu, saat penulis diminta hadir mewakili dalam perayaan Waisak Yayasan Buddha Tzuchi di Pantai Indah Kapuk, keheningan dan kerapian yang dikondisikan oleh panitia sungguh mengagumkan sekaligus mengharukan. Walau upacara mandi Buddha nya sudah dimodifikasi sedemikian rupa, tapi tidak mengurangi makna luhur peringatan Waisak itu sendiri. Air mata juga memenuhi ruang di pelopak mata, yang disertai kebahagiaan yang luarbiasa di dalam batin. Tersenyum tapi berkaca-kaca, terharu tapi bahagia.

Waisak selalu membawa makna yang special bagi masing-masing kita. Tiga peristiwa penting dalam kehidupan Guru Agung kita Sidharta Gautama, kelahiran, pencapaian Kebuddhaan dan mangkat (Parinirwana) kita peringati di bulan Waisak. Ada yang memperingatinya di hari yang sama, tapi ada yang memperingati di hari yang berbeda. Seperti halnya mandi Buddha (kelahiran) yang dirayakan seminggu sebelum peringatan Waisak itu sendiri. Tetapi perbedaan hari (penanggalan) bukanlah hal krusial yang perlu kita bahas berlarut-larut. Yang jauh lebih mendasar dan penting adalah apa makna kelahiran Buddha bagi kita dalam hidup ini. Apa tujuan kita memandikan bayi Buddha?

Apakah bayi Buddha (Bodhisatwa) membutuhkan kita untuk membersihkan tubuhnya? Seorang calon Buddha yang memiliki lautan kebajikan yang tiada batas apakah masih membutuhkan kita untuk memurnikan tubuhnya? Tentu tidak, kita lah yang sebaliknya membutuhkan itu. Dengan melakukan ritual mandi Buddha ini, kita seolah sedang menyirami benih ke-Buddha-an yang ada di dalam diri kita sendiri, yang memang perlu untuk sering-sering disirami agak menjadi bersih dan bersinar, mekar layaknya kuntum bunga yang segar dan menyebarkan harum ke sekeliling.

Di dalam Sutra Pahala Kebajikan Memandikan Rupang Buddha (Yufo Gongde Jing / Tathagata-pratibimba-pratisthanusamsa-Sutra), disebutkan bahwa mereka yang memandikan rupang Buddha dengan air bunga yang wangi akan memperoleh apa yang mereka harapkan, usia panjang, terbebas dari penyakit, memiliki keturunan yang berkelanjutan, dan terhindar dari alam sengsara menuju alam bahagia. Dalam sutra juga disebutkan, ketika melaksanakan ini, seseorang semestinya berdana dan berikrar untuk melepaskan kemelekatan dan menyelamatkan semua makhluk. Manfaat lain yang juga disebutkan bahkan dapat membawa pada penerangan sempurna.

Menurut catatan Biksu Yijing yang berkelana di India pada abad ke-7 (dan pernah juga mampir ke Swarnadwipa, Sriwijaya), menyatakan bahwa pada masa itu wihara-wihara di India juga melaksanakan ritual pemandian rupang Buddha setiap harinya (Nanhai Jigui Neifa Zhuan). Air berkah pemandian ini dapat dipercikkan di dahi ketika seseorang berdoa agar harapannya terkabul.

Di Candi Borobudur ternyata juga terdapat relief di mana Buddha sendiri dimandikan dua kali. Yang pertama adalah ketika Beliau lahir, para dewa naga bersama Sakha dan Brahma memandikan Beliau. Yang kedua adalah Beliau dimandikan oleh lima murid pertamanya.

Memandikan rupang Buddha berarti juga memandikan hakekat ke-Buddha-an dalam diri kita dari segenap kotoran batin. Mahabiksu Thich Nhat Hanh juga mengibaratkan dengan tindakan mencuci piring dengan penuh kesadaran. Bukan hanya tiap hari sebagaimana yang dicatat Biksu Yijing (menterjemahkan dari Sanskerta ke Mandarin), bahkan tiap momen kita harus memandikan Buddha dalam diri kita.

Selamat Waisak teman-teman.  

Jangan lupa menyirami Buddha yang ada di dalam diri kita



Sumber Pustaka :

https://buddhazine.com/yuk-rayakan-waisak-dengan-memandikan-rupang-buddha-2/

https://forsharingknowledge.blogspot.com/2013/08/sutra-pahala-kebajikan-memandikan.html?m=1

Share:

Komentar (2)

Sudy Halim

Sabtu, 18 Mei 2024 13:32

Terima kasih atas ceramah dhammanya, Romo.

Agus Mulyono

Sabtu, 18 Mei 2024 11:18

Lebih sepakat yang makan filosofi bahwa kita ikut memandikan diri kita agar terkikis kekotoran batin nya

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS