LOG OUT vs LOG IN
Upi. Susy Muliawati
Jum'at, 19 April 2024
MBI
Bangga, Bahagia, Tersanjung
Bila ada tokoh terkenal yang menyatakan dirinya sebagai Umat Buddha, sontak kita akan merasa bangga. “Wahai umat manusia, lihatlah orang sekeren itu saja beragama Buddha, kapan dong giliran kalian? Hehehe”.
Bahagia karena ternyata jalan yang dipilih olehnya ternyata sama dengan kita. Semakin ramai kok rasanya semakin pede mengakui sebagai seorang Buddhis di Indonesia, apalagi bisa satu server dengan orang-orang keren. Kita juga merasa tersanjung bahwa orang terkenal saja mau mengakui agama Buddha kepada khalayak ramai dan mereka mau menunjukkan bahwa ajaran Buddha adalah yang paling baik.
Demikianlah diri kita memiliki keterikatan dengan agama dan keyakinan yang melekat pada seseorang, dan bukan mengagumi pencapaian ataupun kemajuan batin yang diraih oleh orang lain yang sebenarnya tidak memberikan dampak apapun bagi kemajuan batin diri kita sendiri.
Kecewa, Marah dan Sedih
Kecewa, marah dan sedih mungkin pernah muncul sebagai respon dari hati kita saat melihat entah itu pasangan hidup, anak, orangtua, saudara, keluarga, atau bahkan rekan seperjuangan kita yang sejak dahulu kala sama-sama aktif sebagai panitia acara-acara keagamaan maupun sesama pengurus lembaga organisasi Buddha yang tiba-tiba saja mengumumkan Log Out dirinya di media sosial.
Bukan dengan menginformasikan, “Hai, saya sudah pindah agama lho….”. Tapi dengan membuat postingan foto kitab suci atau atribut milik tetangga atau dengan momen dimana dengan jelas dirinya sedang bersama dengan pemuka agama lain dan ditambahkan caption-caption seperti: terlahir kembali, menemukan jalan kebenaran, dan kebahagiaan dirinya yang sejak dahulu dilanda dahaga, penuh kehampaan diri ketika menjadi seorang Buddhis. Dan sekarang telah menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.
Sungguh peristiwa tersebut akan sangat mengagetkan kita karena biasanya proses sebelum Log Out tersebut memang terjadi secara senyap tanpa sepengetahuan siapa pun kecuali pihak-pihak yang terlibat dalam menyukseskan proses terjadinya Log Out tersebut.
Menilik dari data Kemendagri, tercatat bahwa jumlah Umat Buddha adalah sebanyak 2,02 juta jiwa yang hanya sekitar 0,73% dari jumlah penduduk Indonesia. Kadang membuat kita cemas berpikir, kalau jumlahnya sudah sangat sedikit dan terus menurun bagaimana? Bahaya dong kalau sampai punah? Sebenarnya, wajarkah bila kita merasakan kekecewaan, kemarahan, kesedihan, atau bahkan terpukul? Wajar saja, karena kita juga adalah manusia biasa yang memiliki emosi dan pikiran. Tapi jangan sampai emosi itu kita pupuk dan siram dengan pupuk yang subur, sehingga akibatnya malah merugikan diri kita.
Mari kita berusaha untuk mengesampingkan pemikiran-pemikiran yang tidak produktif seperti itu. Karena tugas kita untuk melestarikan Buddha Dharma di Indonesia ini masih banyak. Masih ada kewajiban kita untuk menjadi seorang umat Buddha yang sejati, yang selalu berperilaku sesuai dengan Dharma, menjauhkan tiga akar kejahatan dari hati kita, melatih moralitas dan mengembangkan kebijaksanaan batin kita yang sesuai dengan Metta, Karuna, Mudita dan Upekkha, yang akan merepresentasikan kita sebagai seorang siswa yang menjalankan ajaran Buddha.
Percuma saja mengaku sebagai siswa Buddha tetapi perilaku sehari-harinya sama sekali tidak mencerminkan sedikitpun ajaran dari Buddha. Tidak perlu kita sibuk untuk menilai bahwa orang lain mengalami kemunduran batin, karena kita tidak pernah tahu yang sesungguhnya terjadi. Kita tidak akan memperoleh manfaat apapun dengan melakukan hal tersebut. Yang terjadi malahan hati kita akan terkontaminasi oleh kekotoran batin.
Faktor-faktor
Faktor penyebab log out ini sendiri sebenarnya cukup bervariasi, tetapi yang paling sering kita temukan adalah karena permintaan dari kekasih / calon pasangan hidup, pasangan hidup, orangtua, maupun permintaan dan ajakan dari anak yang sudah Log Out dahulu sebelumnya. Bila sepasang manusia berbeda agama yang menjalin hubungan yang serius ke arah jenjang perkawinan, akan selalu dianjurkan dan diwajibkan oleh pemerintah untuk memilih satu agama saja. Dan biasanya, Umat Buddha yang kebanyakan akan mengalah memilih untuk mengikuti agama pasangannya.
Mengapa harus seperti itu? Bila alasannya bahwa semua agama sama saja dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup, mengapa tidak terjadi kebalikannya, yaitu Umat tetangga yang mengalah dan masuk ikut agama kita? Karena sejak masa dahulu kala budaya Umat Buddha sudah terbiasa untuk bertoleransi, akibatnya tradisi mengalah ini selalu ditujukan kepada kita. Bisakah kita mencoba untuk mulai berani mendobrak kebiasaan ini? Tetapi bila kita saja tidak bersedia untuk melakukannya, tidak mungkin kita menuntut orang lain untuk melakukannya.
Dalam memulai bahtera perkawinan beda agama, kita juga dapat memilih jalan tengah dimana pasangan mempertahankan agama masing-masing. Tetapi bila perkawinan dilaksanakan di Indonesia, tetap saja harus dengan menggunakan pemberkatan perkawinan agama tertentu. Pemberkatan secara agama apakah yang dipilih?
Atau bisa juga dengan melakukan pemberkatan secara 2 agama, tetapi hanya satu pemberkatan saja yang dicatatkan ke pemerintah melalui Dukcapil. Tetapi kadang banyak tantangan yang terjadi untuk membuat ini dapat dilakukan. Ada pula yang sengaja pergi melakukan perkawinan di luar negeri dan tidak melakukan pemberkatan perkawinan secara agama apapun di Indonesia dan kemudian menyusulkan pencatatan perkawinannya di Indonesia. Jawabannya ada di tangan kita masing-masing untuk jalan mana yang mau kita tempuh, dengan segala konsekuensi yang sudah kita perhitungkan sejak awal, dan tidak menjadikan ini sebagai alasan atas timbulnya percekcokan di kemudian hari.
Sebenarnya kalau kita tanyakan secara jujur, dari hati ke hati, apakah alasan dari semua pelaku log out merasa tidak cocok lagi dengan Dharma ajaran dari Guru Buddha? Jawabannya bukan itu. Apakah mereka mengatakan bahwa ajaran Buddha salah? Jawabannya juga tidak. Kebanyakan akan mengklaim bahwa dirinya lebih menemukan kedamaian, menemukan pelindung yang memiliki kemampuan maha dahsyat, memiliki sosok yang dapat diminta atau tempat mengadu segala keluh kesah yang dapat diajak bicara secara personal, dan lain sebagainya, yang sangat bertolak belakang dengan keyakinan yang kita miliki.
Adapula alasan bahwa mereka merasa bahwa menjadi Umat Buddha sangatlah berat, bila sudah melakukan karma buruk yang yangat berat pastilah akan terjerumus ke neraka avici. Sedangkan di agamanya yang sekarang ada acara untuk melenyapkan timbunan karma buruk yang telah mereka perbuat sehingga mereka merasa bahwa seakan hidupnya tiada beban.
Sangat disayangkan sekali kalau sampai alasan-alasan tersebut menjadi pertimbangan untuk berpaling dari Buddha Dharma. Tetapi mari kita melihat dari sisi lainnya, bahwa mirip dengan obat untuk penyakit, harus ada kecocokan bagi pasien yang meminumnya supaya sembuh. Mungkin saja obat untuk penderitaan semua makhluk, yaitu Dharma dari tabib Buddha Gautama pun dirasa kurang cocok oleh sebagian manusia yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Sebagai seorang Umat Buddha, apa yang harus kita lakukan bila memiliki teman, keluarga, orangtua, anak yang Log Out? Kadang kala ketika sebelum proses Log Out terjadi, seseorang akan berkonsultasi kepada orang-orang terdekatnya, mencari pembenaran-pembenaran atas rencana yang akan dijalankannya. Di saat itulah saat yang paling menentukan keberlangsungan proses itu. Karena kita semua meyakini bahwa Dhamma, ajaran dari Guru Agung kita semua adalah ajaran kebenaran yang sudah terbukti nyata, yang sangat dapat dipahami oleh akal sehat dan logika.
Maka dari itu, bila kita berada di posisi sebagai orang terdekat dari para kandidat Log Out, kita pasti akan mencoba membantu mengarahkan, bukan dengan menyalahkan maupun membenci dan menghakimi, tetapi dengan penuh kepedulian dan juga memberikan penjelasan dengan penuh kesadaran dan kesabaran yang diliputi rasa kasih sayang.
Bagaimana kalau upaya kita tidak berhasil? Tetap saja kita harus turut bersukacita atas kebahagiaan yang saat ini mereka rasakan. Jangan patah semangat dan jangan mendendam kepada orang tersebut. Bila selama ini kita melihat seseorang kerap bermuram durja, tetapi sejak dia Log Out, tiba-tiba saja dia menjadi ceria dan selalu bersinar, kita harus bermudita-citta dong !
Kita juga harus merelakannya untuk saat ini. Ya, betul merelakannya. Tubuh kita ini sendiri pun bukan milik kita, apalagi orang lain. Apa hak kita untuk tidak merelakan hati untuk melihat kebahagiaan orang lain. Kita juga bisa mendoakan mereka agar apapun yang terjadi, permasalahan apapun yang mereka alami, akan dapat mereka sikapi sesuai dengan Dharma yang telah mereka pelajari sejak dulu. Mendoakan agar mata batin mereka dapat kembali terbuka untuk menerima Dharma ajaran Buddha.
Suatu saat kita mungkin akan bertemu kembali dengan mereka di jalan yang sama, baik di kehidupan saat ini atau di kehidupan selanjutnya. Toh hidup ini bukan hanya sekali ini saja, dan nanti kelak kita semua akan bertemu kembali di alam manusia atau alam lainnya, kecuali masing-masing pihak terlahir di alam yang berbeda, misalkan terlahir sebagai dewa, terlahir di alam neraka, alam binatang, dan sebagainya.
Jadi bila saat ini atau nanti ada teman, kerabat ataupun keluarga yang sedang Log Out, jangan menggenggam kegundahan di dalam hati, kita harus meyakini bahwa semua itu hanya bersifat sementara. Karena kita semua akan bertemu kembali di dalam perjuangan dan journey berikutnya untuk mencapai pembebasan terakhir, Nirwana. Tetaplah berfokus kepada tujuan hidup ini, dimana kita harus terus mengembangkan batin kita, menjalankan ajaran Buddha dan tetap membantu semua makhluk hidup lainnya.
Dan katakan pada temanmu, “Sekarang kamu sedang Log Out, but you’re gonna Log In again soon. See you later, my beloved friend.”
Komentar (1)
KEZIA ANGELICA TANJAYA
Sabtu, 26 Oktober 2024 20:17
sangat bagus artikel ini