Dikotomi Pikiran
U.P. Mita Kalyani Irma Gunawan
Jum'at, 23 Februari 2024
MBI
Dalam satu akun seorang praktisi healing, ada caption menarik yang juga membahas tentang ini, ijinkan saya merangkumnya. Dikatakan bahwa penulis tersebut tidak membenci negara X yang melakukan penyerangan karena ia pasti rugi karena kemarahan dan kebencian ada dalam dirinya. Apakah saya mendukung? Tidak, manusia memang suka dengan dikotomi, kalau tidak membenci artinya mendukung.
Penulis tersebut juga bukan berarti tidak peduli dengan apa yang menimpa negara Y yang menjadi korban dari negara X. Dia pro perdamaian, namun ia gelisah dengan apa yang terjadi. Banyak kejadian lain di dunia yang sama kejinya tapi tidak ada yang meliput. Apa yang membuat kita tergerak di satu sisi dan tak peduli di sisi lainnya, karena sebagian besar dari kita hanya peduli pada kepentingan/ego, dengan kata lain manusia hanya tergerak oleh sesuatu yang merugikan atau menguntungkan dirinya.
Menurut penulis, caption tersebut bertujuan sebagai refleksi diri di tengah gelombang kebencian yang timbul akibat peperangan tersebut. Tidak ada niat untuk membela salah satu pihak atau mengacuhkan kejamnya peperangan yang merebut nyawa rakyat sipil bahkan para sukarelawan yang terlibat dari negara lain. Namun ternyata, komen yang pro dan juga terutama banyak yang kontra dari para netizen juga setajam senjata yang digunakan untuk perang (bukan bermaksud melebih-lebihkan, ada istilah kan kata-kata bisa setajam pisau). Perbedaan persepsi dari setiap kepala memang sudah pasti menimbulkan tanggapan yang berbeda, tetapi mengapa hujatan dan cemoohan menjadi tameng untuk menyatakan dukungan dan kebenaran.
Berita tentang kedua negara tersebut mulai mereda digantikan dengan keseruan pemilihan capres yang menjadi topik terpanas tahun ini. Sosmed, wa group, acara TV, pertemuan kerabat hingga ibu-ibu bergosip di gang kecil, menjadikan topik ini bahan obrolan, perdebatan, banyolan hingga penyebab perang kasak kusuk di dalam komunitas manapun.
Ada yang menjadi highlight penulis tentang kata dikotomi, dalam kamus besar bahasa Indonesia versi online, di-ko-to-mi, pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Seperti yang dijelaskan dalam caption diatas, kalau tidak membenci artinya mendukung.
Bukan dengan pertolongan ibu, ayah ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik, yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang. ( Dhammapada 43 )
Adalah wajar bila seseorang mendukung orang lainnya, maka biasanya ia akan melihat sosok yang didukung tersebut terlihat (seakan-akan) menjadi seirama dan sinergi dalam pandangan mata, pikiran dan perasaannya. Sebagai contoh, selama masa kampanye ini, setelah keseruan acara perdebatan capres dan cawapres di acara televisi, kita akan berpindah ke dunia maya menyimak konten dan meme di sosmed. Tidak kalah seru, berbagai argumen di sosmed ini menjadi ajang aktualisasi kreatifitas berpendapat yang cerdas, kadang nyinyir, sarkas, ada yang lucu, konyol dan ada juga yang memberikan edukasi berdasarkan literasi yang ada. Pihak sini akan membela tokoh pilihannya dengan argumen ini itu, pihak sana akan menyanggah dengan protes gono gini. Semua menjadi pihak yang paling benar dan akan saling membenarkan.
Tidak hanya di dunia politik yang skala besar, di lingkungan keluarga inti pun, kadang kita melihat seorang ayah atau ibu akan membela mati-matian anaknya, karena bagi mereka, anaknya adalah yang terbaik dan terhebat, tidak boleh ada yang mencela atau meremehkannya. Walaupun, mungkin si anak melakukan kelalaian atau ketidak sempurnaan suatu pekerjaan maupun tanggung jawab.
Itulah kita, manusia yang masih melekat pada pikiran, rasa, obyek dan keinginan. Saat merasa ada kesamaan kepentingan, ego, visi, tindakan apapun dari sosok yang didukung (seolah-olah) adalah benar. Yang tidak setuju atau bertentangan adalah tidak benar. Berhati-hatilah dengan dikotomi yang juga mempengaruhi pikiran kita!
Dalam setiap momen, sebagai Buddhis, kita diingatkan untuk selalu menjaga kesadaran, mendengar secara mendalam dan berhati-hati dalam berpikir, berucap dan bertingkah laku. Kenyataannya, banyak individu menutup diri karena merasa telah mengerti tentang sesuatu dan tidak terbuka dengan ide baru atau perubahan baru. Ia akan menutup telinganya terhadap pembicaraan yang dianggap beda pemahaman dan tidak sesuai dengan apa yang sudah diyakininya. Seandainya saja setiap jiwa (yang tanpa aku ini) mau membiarkan diri untuk belajar mendengarkan, merefleksi diri, sigap terhadap perubahan, maka ia akan mampu beradaptasi terhadap perbedaan.
Akhir tulisan ini, penulis ingin mengajak semua pihak, berbeda persepsi, berbeda pilihan, berbeda cara, berbeda apapun itu, jangan sampai saling melukai diri sendiri maupun orang lain. Karena praktek dari ajaran agama, yang katanya beragama untuk cinta, damai dan bahagia, mengapa memisahkan pikiran dan praktek prilaku, bila ujungnya untuk mencapai kebaikan bersama.
Semoga yang terbaik terjadi !
Sumber referensi :
- Dhammapada
- Membuka hati, Menjernihkan Pikiran ( Thubten Chodron )
- Tulisan / Caption Gobind Vashdev
Komentar (0)