Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Mencintai Kehidupan

U.P. Vidyananda Sehi

Jum'at, 19 Januari 2024

MBI

Beberapa tahun yang lalu penulis berkunjung ke tempat seorang pelanggan, ternyata dia memelihara beraneka burung cantik dengan kandangnya yang sangat luas. Kebetulan kami juga melihat seorang anak kecil berusia sekitar 4 atau 5 tahun, anak pemilik rumah, yang dengan fasihnya memberitahukan nama-nama burung peliharaan ayahnya. Wah luar biasa, ternyata banyak jenis burung yang tidak saya kenal.


Kemudian anak ini memakai sarung tangan dan menangkap sejenis jangkrik yang ada dalam sebuah tong bekas cat, dan ia dengan ahlinya memberi makan jangkrik yang hidup itu kepada burung-burungnya dan dengan "bangga" memperlihatkan bahwa burung-burung memperebutkan, mematok, memakan langsung dari tangannya dan sepertinya itu aktifitas rutin setiap hari anak ini.

Ada perasaan yang kurang enak di hati penulis, tapi dalam kondisi saat itu penulis tidak bisa menegur anak tersebut. Penulis jadi teringat sebuah kisah di jaman kehidupan Buddha mengenai biksu Tissa, yang berpenyakit bisul di seluruh tubuhnya, yang mengeluarkan nanah dan bau busuk yang sangat menyengat, yang membuat semua yang menjaganya, termasuk keponakan dan para biksu meninggalkannya. Lalu Buddha mengajak bhante Ananda ke tempat Biksu Tissa, kemudian memasak air panas. Buddha membersihkan dengan perlahan-lahan, melepaskan jubah/kain yang sudah melekat dengan kulit (bisul yang mengering). Kemudian Buddha berkata kepada para biksu di sana : “Para biksu, jangan begitu. Kalian tidak memiliki ayah atau ibu yang merawat kalian. Jika kalian tidak saling merawat, lalu siapa yang akan merawat kalian? Mereka yang merawat orang sakit, sama seperti merawat Aku ( Buddha).” (Vinaya IV, 301)

Kemudian Buddha menceritakan kehidupan lalu dari Biksu Tissa, yang adalah seorang pemuda yang kerjanya menjual burung-burung. Setiap hari pekerjaannya menjual burung & bila burung-burungnya tidak habis terjual, maka dipatahkan kaki & sayap burung-burung itu supaya tidak bisa terbang, agar burung-burung ini esok harinya masih bisa dijual lagi (daripada burung-burung ini terbang karena sayapnya sehat). Setiap hari kalau ada burung yang tidak habis terjual, maka ia patahkan kaki & sayapnya. Karma buruk akibat dari perbuatannya, pada kehidupan ini lahir sebagai Biksu Tissa yang berpenyakit seperti ini.

Kalyanamitra, teman-teman sedharma, karena kebodohan / ketidaktahuan maka mereka melakukan dan melakukannya lagi berulang. Berulang dan berulang lagi, tak terhitung karma-karma buruk yang dilakukan karena kebodohan ini. Banyak juga yang pekerjaannya sengaja mencampurkan racun pada makanan yang dibuat untuk dijual misalnya pewarna pakaian, mencampur sejenis bahan kimia pada makanan supaya makanan awet, mencampurkan plastik saat menggoreng makanan agar gurih dan tidak masuk angin dan sangat banyak contoh lain disekitar kita perbuatan buruk yang dilakukan berulang-ulang. Kebodohan ini tentunya bila berbuah akan menghasilkan karma buruk penyakit yang aneh-aneh yang susah disembuhkan.

Saya teringat sebuah cerita hipnoterapi kehidupan lalu, dimana ada seorang pemuda yang sangat ingin tahu, mengapa bibinya yang baik hati, bertanggung jawab, sayang keluarga, sekarang sakit yang aneh dari kepalanya keluar cairan (berasal dari otak) yang tidak habisnya, kata dokter sejenis kanker otak. Dan kemudian pemuda ini mengikuti sebuah sesi kelas hipnoterapi (past life regression – red).

Didapatkan bahwa, pada satu kehidupan lampau, bibinya pernah lahir sebagai seorang lelaki yang memiliki pandangan salah, ingin menjadi lebih pintar dan percaya bahwa mengonsumsi otak kera / monyet bisa menjadikannya lebih pintar. Dan karena kebodohan ini, ia sering mengkonsumsi otak kera/monyet, dan ini dilakukan berulang-ulang.

Itulah akibat dari perbuatan buruk yang berbuah. Buddha berkata : Pembuat kejahatan hanya merasakan kegembiraan, sepanjang buah perbuatannya belum masak. Tetapi ketika sampai waktunya, ia akan melihat akibat-akibat yang buruk. (Dhamapada 119)

Begitu juga banyak tradisi disekitar kita yang memperingati kelahiran ataupun syukuran kelahiran anak, syukuran anak 1 bulan lahir (mua gwe) dengan "memesan" ayam, memotong kambing/lembu. Ikuti tradisi dan sesuaikan Dharma "menghindari pembunuhan makhluk hidup", karena KARMA itu sejatinya lintas keyakinan.

Kebiasaan umat Buddha yang sering dilakukan setiap awal tahun atau setiap merayakan sesuatu adalah dengan melepas hewan / fang shen. Di hari Metta khususnya, banyak sekali komunitas yang melakukan upacara melepas mahluk hidup ini, baik ikan, burung, kura-kura, belut, dan lainnya ke habitat mereka, kembali ke alam.

Karma buruk dari membunuh makhluk hidup adalah apabila lahir sebagai manusia, dia akan memiliki umur pendek dan tubuh yang penyakitan, mengerti hukum karma ataupun tidak mengerti, percaya ataupun tidak percaya  tetap akan berbuah.

Karma baik dari menghindari pembunuhan makhluk hidup adalah memiliki usia tua, meninggal secara alamiah, mendapatkan wajah yang rupawan, tubuh sehat dan ringan (tidak penyakitan), terkenal dan disayang orang banyak sahabat, aman dan selamat dimana saja, tidak ada kekhawatiran yang besar.

Berbahagialah dan beruntungnya anak-anak yang sedari kecil sudah dikenalkan ajaran Buddha, sungguh beruntung kita yang mengerti Dharma, mempraktikkan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah hoki bagi umat Buddha.

Semoga Kita semua mampu merenungkan, mempraktikkan ajaran Buddha, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik saat senang-susah, saat lancar ataupun saat ada masalah, saat suka maupun saat dikuasai kebencian. 

Sadhu.. sadhu.. sadhu...

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS