Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

What was I Made For?

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 12 Januari 2024

MBI

Selamat Tahun Baru 2024 teman-temanku semua. Apa khabarnya?  Semoga senantiasa Sehat dan selalu Bahagia. Semoga di tahun baru 2024 ini, kita menjadi diri kita yang jauh lebih baik lagi dari tahun 2023. Dan sudahkah anda membuat resolusi di tahun 2024 ini, agar hidup menjadi lebih baik? Yang belum membuat, masih belum terlambat, karena kita baru di minggu kedua tahun 2024.


Sejak dua-tiga bulan yang lalu, penulis ingin membuat artikel yang terinspirasi dari judul lagu karya penyanyi Amerika Billie Eilish.   Sebuah lagu yang dinyanyikan dengan sangat pelan dan hampir tanpa ekspresi tapi maknanya dalam sekali.  Silahkan bagi teman-teman yang belum pernah mendengar lagunya bisa mencari sendiri di media sosial dan channel yang ada.

Sedikit penulis memasukkan satu bait lagunya:
I used to float, now I just fall down,
I used to know, but I'm not sure now,
What I was made for? What was I made for?
(Terjemahan bebas : Saya terbiasa melayang, sekarang saya jatuh.  Saya tadinya mengerti, tapi sekarang saya tidak yakin. Untuk apa saya dibuat? Untuk apa saya dilahirkan?)

Menurut penulis, lagu ini ingin mengambarkan kegamangan hati seseorang yang sedang dalam keadaan galau, bimbang akan kehidupannya yang naik turun dan terasa tidak bermakna. Eilish seolah ingin mempertanyakan untuk apa semua ini? Untuk apa saya terlahir dan menjalankan kehidupan seperti ini?

Bukankah kita juga sering berada dalam keadaan galau seperti ini? Walau sepertinya kita sudah memiliki arah tujuan hidup yang pasti, dengan impian dan cita-cita yang besar, dan kita berjuang keras untuk mewujudkan semua itu. Tapi toh semua itu tidak membawa ke kebahagiaan yang kita inginkan. Kita sering bertanya-tanya, apa yang salah? Mengapa begitu banyak kekecewan dan kesedihan yang harus kita alami?

Sebagian mencari jawabannya dengan membaca berbagai buku motivasi, buku dharma, ikut pelatihan dan retret. Mencari jalan untuk mengisi sesuatu yang dianggap kosong dalam hidupnya. Sebagian lagi pasrah dan menjalani hidup apa adanya saja, mengalir sajalah, seperti air, katanya. Sekilas nampaknya memang tidak salah juga sih filosofi hidup mengalir bagaikan air, tapi apa kita yakin aliran airnya mengarah ke ujung yang baik? Bagaimana kalau ujungnya malah tidak bermuara ke laut, tapi ke selokan kotor atau ke aliran yang buntu?

Belajar dari teladan Guru Agung kita dalam riwayat kehidupannya jauh sebelum kelahiran sebagai Sidharta, beliau pernah lahir sebagai seorang pertapa bernama Sumedha di jaman Buddha Dipankara. Kita tentu pernah mendengar cerita dimana pertapa Sumedha yang memiliki paramita yang besar bertemu dengan Buddha Dipankara dan rombongannya. Dengan kekuatan keyakinan dan baktinya, Sumedha membaringkan tubuhnya di tanah yang kotor dan berair, menjadikan tubuhnya sebagai jalan bagi Buddha Dipankara dan rombongan melewati kubangan yang kotor itu.

Diceritakan bahwa dengan kumpulan paramitanya waktu itu, Sumedha sangat bisa menjadi seorang Arahat di bawah bimbingan langsung Buddha Dipankara, tetapi Sumedha memiliki aspirasi yang jauh lebih tinggi lagi, yakni untuk menjadi seorang Sammasambuddha, seperti halnya Dipankara Buddha. Dan karena tekadnya yang luar biasa ini maka Sumedha harus mengumpulkan lagi paramita yang lebih besar selama Empat Kalpa yang tak terhitung lamanya (Asankheyya Kalpa).

Dan karena aspirasi dan tekad (adhitthana) yang kuat inilah, kita bertemu dengan sosok Sidharta Gotama di masa kehidupan kita ini. Sebagai tambahan cerita, karena tekad yang luarbiasa itu, seorang wanita bernama Sumitta yang juga berada di tempat itu, merasa sangat tersentuh dan kemudian beraspirasi untuk menjadi pasangan pertapa agung ini dan mendampingi hingga Sumedha mencapai Kebuddhaan. Sosok ini yang kita kenal menjadi pasangan Sidharta di 500 kehidupan mereka, Yasodhara, ibunda dari Rahula.

Sidharta Gotama, bahkan jauh sebelum kelahirannya di taman Lumbini, sudah tahu arah tujuan hidupnya, mau jadi apa. Dan ini dibuktikan sekali lagi dengan tujuh langkah kecilnya di saat lahir di bumi ini, yang menampakkan teratai mekar, dengan telunjuk tangannya yang satu ke atas dan satu ke bawah (langit dan bumi menjadi saksi) serta kata-katanya yang sangat kita kenal luas; “Akulah pemimpin di dunia ini. Akulah yang tertua di dunia ini.  Inilah kelahiraku yang terakhir kalinya. Tidak akan ada lagi kelahiranku setelah ini.”

Bayangkan, bahkan begitu lahir pun Sidharta sudah tahu tujuannya lahir ke dunia ini. Mau jadi apa dan untuk apa? Kita mungkin masih ingat cita-cita waktu kecil, ada yang mau jadi dokter, guru, insinyur, pilot, astronot, dan sebagainya. Coba kita cek, berapa banyak yang sesuai dengan cita-cita masa kecilnya. Ini belum kita cerita soal cita-cita kita yang berubah-ubah.

Sebagai siswa Buddha, yang sedikit banyak sudah mengerti ajaran Buddha tentang Ketidakkekalan, Ketidakpuasan, Tanpa Aku, Padamnya Nafsu, tentu kita semua juga ingin mengikuti jejak Buddha untuk mencapai apa yang dicapai Buddha, mencapai Nirwana itu. Tapi apakah sudah ada langkah-langkah kita agar jalan hidup kita ini menuju ke sana?  Menuju ke Nirwana?

Kalau belum, mengapa belum? Kapankah kita mau mulai mengarahkan hidup kita ke jalan yang sudah dicapai Buddha tersebut? Sering kita mendengar jawaban; “Nantilah, kalau waktunya sudah tepat, kalau urusan duniawi ini sudah beres?” Kapankah itu? Kapan kita bisa betul-betul beres dengan urusan duniawi kita, urusan materi kita? Akankah kita masih menggunakan filosofi air, yang mengalir saja kemanapun arahnya akan menuju?

Mari kita sebagai siswa Buddha, tidak lagi galau akan tujuan hidup kita. Mantapkan diri kita bahwa tujuan hidup kita ini adalah untuk mencapai Nirwana. Dengan memiliki tujuan yang jelas ini, kita menjadi lebih mudah untuk melangkahkan kaki kita dalam kehidupan ini. Kita memiliki sebuah arah yang pasti, yang walaupun kita dalam perjalanannya tidak selalu lurus ke arah itu, sedikit berbelok, maju mundur, mandeg, istirahat, tetapi dengan adanya kejelasan tujuan, maka kita akan kembali berjalan ke arah yang kita tuju.

Ingatlah akan pesan terakhir Buddha, bahwa “segala yang terkondisi adalah tidak kekal, berjuanglah dengan sungguh-sungguh” (Vayadhamma sankhàra. Appamàdena sampadetha). Apa yang perlu kita perjuangkan dengan sungguh-sungguh? Dengan segenap daya upaya ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah mengikis semua belenggu, melepaskan semua keserakahan, ketidaksukaan, dan kebodohan kita akan dunia ini.

Mari kawan, walau tidak mudah, tapi jalan sudah ditunjukkan oleh Buddha. Kita hanya perlu berusaha dengan sekuat tenaga, dengan kesungguhan hati, mengikuti jalan itu, dan yakinlah kita akan berhasil mencapainya. Suatu hari nanti.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS