Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

MATA HATI DHARMA (2)

U.A.P. Hendra Awie, S.Kom, M.Pd, DMd®, CPS®

Selasa, 12 Desember 2023

MBI

Lanjutan artikel sebelumnya, yang membahas mengenai MATAHATI. MATA, singkatan kata dari MAlu dan TAkut akan menjadi pedoman moralitas kita sebagai umat buddha dan HATI, singkatan dari HAdirkan cinta dan TIdak melanggar sila akan menjadi cara melaksanakan moralitasnya untuk mencapai umat buddha yang bermoral dalam menuju Indonesia maju dan bahagia. Selamat membaca.


Hadirkan Cinta

Merenungkan kata ‘Hadirkan Cinta’, rasanya fokus setiap umat Buddha yang menyukai untaian lagu akan langsung mengingat lirik lagu Buddhis yang sangat popular dengan judul yang sama. Berikut potongan lirik reff lagu hadirkan cinta : Hadirkan cinta satukan rasa di dada ~ pancarkan kasih pada sesama ~ bahagialah semesta ~ jauhkan diri dari amarah di hati ~ agar seluruh alam berseri menyambut indahnya dunia ini. Tidak hanya lirik dan melodi lagunya saja yang indah, namun esensi nasihat di dalamnya lah yang menjadikan lagu tersebut begitu popular dan digemari umat.

Seorang praktisi Buddhisme Zen yang juga penulis buku rethinking religion, Barbara O'Brien, mengatakan kata ‘cinta’ dalam terjemahan kamus bahasa inggris didefinisikan sebagai perasaan sayang karena didasari rasa memiliki, perasaan yang muncul karena adanya rasa kepemilikan terhadap seseorang atau sesuatu, misalnya seseorang mengatakan saya cinta dia, karena dia adalah orang yang spesial bagi saya, karena dia adalah pasangan hidup saya, keluarga saya, bagian dari saya, maka kata ‘cinta’ begitu wajar meluncur dari mulut seseorang yang merasa memiliki. Namun dalam ajaran Buddha, ‘cinta’ disebut metta, dalam bahasa sanskerta, maitri, dimaknai sebagai tataran atau sikap batin yang dikembangkan dan dipertahankan melalui praktik hingga memunculkan cinta kasih, keramahan, niat baik, kebajikan, persahabatan, kerukunan, tidak menyinggung, dan tanpa kekerasan. Dalam Buddhisme, ‘cinta’ lebih luhur daripada hanya sekedar memiliki seseorang atau sesuatu, ‘cinta’ dalam buddhisme adalah bentuk luhur kasih sayang yang muncul tanpa perlu syarat dan bahkan dalam tataran yang lebih tinggi ‘cinta’ terimplementasi menjadi cita-cita luhur tertinggi umat Buddha untuk melepaskan penderitaan dan membahagiakan semua makhluk tanpa terkecuali.

Ajaran Buddha tentang metta atau ‘cinta’ dapat dengan mudah ditemukan pada karaniya metta sutta yang dapat dijumpai pada suttanipata (S.1.8) dan khuddkapatha (K.9). Sutta ini pun termasuk bagian dari paritta yang didalamnya mencakup penerapkan metta dalam perilaku sehari-hari dan pengembagan metta dalam bathin

Dalam praktik cinta kasih, Buddha mengatakan ‘Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan cinta kasih, ia harus jujur, rendah hati, lemah lembut, tidak sombong, mudah merasa puas atau cukup, mudah dilayani, tidak sibuk, hidup sederhana, indrianya tenang, tahu malu, tak berbuat kesalahan sekecil apapun apalagi yang dapat dicela para bijaksanawan’. Sedangkan dalam pengembangan cinta kasih di bathin, Buddha mengatakan ‘Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan kuat, yang panjang atau besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, bahkan yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga mereka semua berbahagia’. Bahkan buddha menganalogikan pengembangan cinta kasih pada semua makhluk seyogayanya dilatih seperti seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya, melindungi anaknya yang tunggal. Demikianlah terhadap semua makhluk hidup, dipancarkannya pikiran (kasih sayang) tanpa batas.

Tidak Melanggar Sila

Sila yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah pancasila buddhis yang diyakini sudah menjadi sesuatu yang sangat familiar bagi umat buddha, secara ringkas pancasila buddhis merupakan praktik melatih diri untuk tidak membunuh, praktik melatih diri untuk tidak mencuri, praktik melatih diri untuk tidak berbuat asusila atau perilaku seks yang menyimpang, praktik melatih diri untuk tidak berkata bohong dan praktik melatih diri untuk tidak mabuk-mabukan serta mengkonsumsi zat adiktif lainnya.

Di dalam kitab digha nikaya, mahaparinibbhana sutta, buddha memberikan gambaran yang sangat jelas tentang praktik pelaksaan pancasila dan manfaat pelaksanaanya yang dapat membawa kebaikan dalam kehidupan saat ini maupun kehidupan selanjutnya. Umat buddha perlu mengintegrasikan pedoman atau landasan moralitas malu dan takut dengan pelaksanaan pancasila buddhis, sebagai berikut:
Memiliki perasaan malu berbuat jahat atau salah (Hiri):

1. Karena merasa malu bila kelak disebut sebagai seorang yang kejam, akan berusaha menghindari pembunuhan dan penganiayaan;

2. Karena malu dikatakan sebagai pencuri, akan berusaha menghindari pencurian;
3. Karena malu bila kelak diperguncingkan orang-orang sebagai orang tidak bermoral, kita menghindari perbuatan asusila
4. Karena malu bila kelak kata-kata kita tidak didengar orang lagi, kita menghindari kata-kata dusta;
5. Karena malu bila kelak kita dikategorikan pemabuk, kita menghindari alkohol dan minuman atau makanan yang memabukkan.

Memiliki perasaan takut akibat perbuatan jahat (Ottappa):

1. Karena takut kelak akan lahir di neraka, sakit-sakitan atau berusia pendek, kita menghindari pembunuhan dan penganiayaan;
2. Karena takut masuk penjara, kita menghindari pencurian.
3. Karena takut mendapat banyak musuh, kita menghindari perbuatan asusila;
4. Karena takut dicontoh anak-anak kita dan takut kata kata kita tidak lagi dipercaya orang lain, kita menghindari kata-kata dusta;
5. Karena takut wataknya dicela orang dan dijauhi teman, kita menghindari alkohol dan minuman atau makanan yang memabukan.

Di dalam vasala sutta, kitab samyutta nikaya ‘Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah. Bukan karena kelahiran pula orang menjadi mulia. Oleh karena perbuatanlah orang menjadi sampah. Oleh karena perbuatan pula orang menjadi mulia’.

Artikel MATA HATI diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan terbaik bagi umat buddha dalam memberikan pemahaman pedoman atau landasan moralitas serta menjelaskan cara praktik moralitas sesuai dengan ajaran buddha yang dikutip langsung dari sumber primer, kitab suci tripitaka.
Namo Buddhaya.

Referensi

Anandajoti, bhikkhu. (2021). Khuddakapāṭha The Short Readings.

Bhikkhu Bodhi, B. (2010). Samyutta nikāya, berkelompok sang buddha, khotbah khotbah: Vol. buku 3.

Bodhi, B. (2012a). 
The numerical discourses of the Buddha : a translation of the Aṅguttara Nikāya jilid 2.

Bodhi, B. (2012b). The numerical discourses of the Buddha : a translation of the Aṅguttara Nikāya jilid 4.

Ñāṇamoli, B., & Bodhi, Bhikkhu. (1995). The long discourses of the Buddha : a new translation of the Digha Nikāya. Wisdom Publications in association with the Barre Center for Buddhist Studies.

Rositawati, A. F. D., & Budiantara, I. N. (2020). Pemodelan Indeks Kebahagiaan Provinsi di Indonesia Menggunakan Regresi Nonparametrik Spline Truncated. Jurnal Sains dan Seni ITS8(2), D113-D120.

Wahyudi, H., & Tiara, A. (2022). Ketimpangan Pendapatan Penyebab Tidak Bahagia. Jurnal Studi Pemerintahan dan Akuntabilitas1(2), 125-138.

Website: www.republika.id/posts/38964/belajar-bahagia-dari-finlandia

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS