Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel
  • Home
  • /
  • Artikel
  • /
  • Marah karena Sayang, Sayang Tapi Marah ?

Cari

Tampilkan Artikel

Marah karena Sayang, Sayang Tapi Marah ?

U.P. Mita Kalyani Irma Gunawan

Jum'at, 10 November 2023

MBI

Ada satu ungkapan bahwa kebiasaan emak-emak pada umumnya, adalah tiada hari tanpa ngomel, dengan alasan apapun, termasuk juga saya. Hingga suatu hari, setelah anak bungsu penulis terkena badai omelan dari ibunya, ia berkata, "Mami gak sayang sama aku, aku cari mami lain aja". Wadowwww...... 


Anda tahu mengapa saya mengomel kepada anak saya? Coba bayangkan, saya sampai membuat list lupa anak saya, hari Senin lupa bawa name tag yang mana itu dipakai untuk absensi digital di sekolahnya, Selasa lupa bawa dasi, Rabu nya botol minum ketinggalan di sekolah dan seterusnya. Mungkin kalau urat leher bisa elastis, dia akan memanjang keatas, saking ditarik terus karena dipake nge gas tiap hari, karena ngomel.

Seringkali para orang tua memberikan alasan marah karena sayang dan peduli pada anak-anaknya, sedangkan para anak juga kebingungan kenapa bisa dikatakan sayang bila orang tua hobi ngomel kepada anaknya.

Kasus nyata lain adalah tentang suami seorang teman yang hobinya juga memaki si istri setiap hari, entah itu karena hal-hal sepele dalam aktivitas rumah tangga mereka, atau karena "pemberontakan kecil" si istri yang katanya kadang butuh refreshing karena bosan dan lelah dengan rutinitas pekerjaan yang sama. Namun si suami ini dapat membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga mereka walau pas-pasan (pas mau bayar uang sekolah anak ada, pas mau makan bisa beli jajanan), bukan dalam artian berlebih namun cukup lah! Suami ini juga mau mengantar si istri saat teman satu grupnya ada kegiatan berkumpul, walau katanya  omelan si suami juga mengiringi sepanjang perjalanan. Para sahabat pun mengatakan kepadanya, berarti suamimu masih sayang dan peduli sama kamu, karena masih bisa mengijinkan untuk kumpul bersama mereka, bahkan mengantarkannya ke lokasi kongkow.

Cerita lain, beberapa minggu lalu saat saya melayat ayah teman saya yang meninggal. Dan ketika kami berbincang tentang mendiang ayah teman saya tersebut, ia menceritakan bahwa ayahnya sudah puluhan tahun ini tiada hari tanpa mengeluh, marah, bahkan mengamuk karena hal-hal sepele. Katanya, sepanjang hari si ayah ini menebarkan energi negatif ke seluruh penghuni rumah bahkan saat anak yang lain datang bersama para cucu berkunjung pun tidak luput dari kemarahannya. Tragisnya, ada kalimat teman saya ini mengatakan, "Sekarang, biarlah ia beristirahat dengan tenang selamanya dari pada ia marah terus sepanjang hidupnya"

Dari ketiga cerita diatas tentang marah tapi sayang, bisakah kita melihat dari sudut yang berbeda dari si pemarah dan si penerima amarah?

Melatih welas asih tidak berarti membiarkan orang lain untuk berbuat kekerasan terhadap diri kita. Melatih welas asih harus diimbangi juga melatih menjadi bijaksana. Tindakan tanpa kekerasan yang timbul dari cinta hanya dapat menjadi tindakan yang bijaksana (Anger, Memadamkan Api Kemarahan Lewat Kearifan Buddhis - Master Thich Nhat Hanh)

Praktisi Buddhis yang mengaku katanya telah memahami banyak Buddha Dhamma, menjadi dharmaduta, mengikuti retret, rutin bermeditasi, kerapkali dalam kehidupan berkeluarga dan berorganisasi juga tidak luput dari kemarahan dan perselisihan. Banyak perpecahan organisasi, wihara, majelis bahkan (maaf) para biksu/biksuni yang membentuk kelompok baru dengan alasan mencari yang sevibrasi, sejalan, sepemikiran, satu visi dan sebagainya.

Banyak alasan kemarahan dan perselisihan dengan pembenaran : bahwa wajar saya masih manusia biasa, sabar itu ada batasnya, wajar saya harus marah karena dia salah, wajar saya harus menegurnya karena orang lain sudah kurang ajar, maka saya harus mengajar (atau menghajar ?) baik melalui ucapan maupun aksi nyata kemarahan melalui perbuatan.

Untuk mengatasi kemarahan dengan alasan karena saya peduli dan sayang kepada obyek-obyek di sekitar saya, memang bukanlah hal yang mudah dicerna, tapi manusia selalu punya alasan untuk hal apapun. Si AKu ini membenarkan tindakan dan egonya, bahkan untuk alasan karena rasa sayang dan peduli, sedangkan yang terjadi adalah emosi dan ekspresi yang berlawanan.

Banyak yang beralasan, bila mau marah ya marah saja, mana mungkin bisa ditahan, namanya juga emosi! Justru dengan bisa melampiaskan kemarahan, malah bisa plong, gak stress. Apa benar begitu? Mau sampai kapan kondisi seperti ini berulang-ulang? Sepanjang hidup?

Mari kita gali ke dalam diri sendiri, mendengar dan mengamati, merenungkan dan belajar untuk lebih sayang lagi kepada diri sendiri, apa penyebab saya marah? Saya marah karena anak tidak menuruti perintah saya, saya marah karena pasangan tidak paham maunya saya,  saya kesal karena tim atau para staff tidak bisa mengikuti intruksi saya atau bentuk kemarahan lainnya. Jadi, sebenarnya saya marah karena emosi saya sendiri, saya kesal karena ego saya sendiri yang harus sesuai mau saya dan saya butuh melampiaskan amarah saya kepada obyek di depan saya dan akhirnya, hasil apa yang bisa didapat kembali setelah saya marah? Kelegaan? Kepuasan?

Tidak, itu kepuasan semu, kelegaan sementara. Melampiaskan kekecewaan kita, kesedihan kita, luka kita dengan kemarahan, akan berdampak menyakiti pihak lain yang kita marahi tersebut, dan itu tidak akan baik untuk hubungan antar pihak yang berkaitan. Anak-anak kita tidak akan bahagia dan mengerti kita dengan amarah kita. Pasangan hidup kita apalagi, mungkin akan membalas kemarahan kita dengan amarah juga, yang keduanya bisa saling menyakiti. Begitu juga dengan orang lain yang mendengarkan amarah kita.

Para terapi dan psikolog akan mengatakan karena ada luka batin ataupun trauma di masa lalu yang menyebabkan seseorang menjadi pemarah bahkan menjadi pembunuh. Oleh karena itu, lepaskan dulu luka, dendam atau luka dalam dirimu, sudah berlalu, mau sampai kapan dibawa? Carilah pertolongan bila dirimu tidak bisa menyembuhkan sendiri, obatilah luka itu sebelum tambah parah melukai dirimu sendiri.

Apa yang terjadi saat kita mempunyai tanaman yang kita suka, lalu kita perhatikan dan rawat agar tumbuh dan berbuah, kita pupuk, sirami, rapikan dan diletakkan di tempat yang sesuai?  Namun setiap harinya saat kita rawat, sambil kita maki si tanaman ini, karena kita sambil curcol dengan marah atas ketidak puasan kita terhadap hal-hal tidak mengenakkan yang terjadi hari itu. Setiap hari kita maki si tanaman ini sebagai pelampiasan kita. Akan jadi seperti apa tanaman kita itu? Apakah tumbuh subur atau sebaliknya? Berani mencoba?

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS