Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Kathina, masih relevan kah?

U.P. Sutta Vijaya Henry Gunawan Chandra

Jum'at, 27 Oktober 2023

MBI

Minggu depan, ketika artikel ini dipublikasikan, kita akan merayakan Kathina. Kathina adalah nama bulan, tetapi sekaligus sebuah hari besar agama Buddha yang diperingati setelah masa Vassa (musim penghujan), dimana para biksu tidak berkeliling membabarkan dharma, tetapi menetap di satu tempat yang umumnya di salah satu wihara. Kathina adalah perayaan yang sangat penting dan besar dalam tradisi umat Buddha, kedua terbesar setelah Waisak, melebihi Asadha, hari pemutaran roda dharma, yang sebenarnya, tanpa ada pemutaran roda dharma itu, tidak akan kita mengenal agama Buddha.


Sejarah menceritakan kita bahwa di masa lalu, sebelum aturan berdiam di satu tempat selama tiga bahkan terkadang empat bulan, para biksu tetap berkelana, sehingga saat hujan datang, jalan-jalan di India waktu itu yang masih tanah dan hutan, membuat banyak halangan buat para biksu tersebut. Jubah mereka menjadi lebih mudah kotor, jalanan yang becek membuat banyak tanaman dan binatang kecil yang terinjak-injak dan mati. Sehingga kemudian, demi kebaikan para biksu itu sendiri dan juga kebaikan umat, mahluk hidup lainnya dan tentu saja kebaikan Sangha/komunitas, Buddha membuat aturan semua biksu harus menetap selama musim hujan. Dan selama tiga bulan itu para biksu berkumpul dan menetap di satu tempat, guna melatih diri, menambah pengetahuan dan pemahaman dharma, saling berbagi pengalaman di antara sesama biksu.

Pernah ada yang bertanya kepada penulis, apakah Kathina ini masih relevan di jaman yang sudah sangat maju seperti saat ini? Dimana praktik umat Buddha dan hubungan biksu-umat sudah banyak berbeda dengan kondisi jaman Buddha hidup, sekitar 2.600 tahun silam.  Apalagi kondisi di banyak tempat, termasuk Indonesia, belum mulai masuk musim hujan sama sekali (sebagai catatan di akhir Oktober 2023, saat artikel ini ditulis, masih belum turun hujan).  Tidak ada kondisi yang menyebabkan para biksu itu harus menetap dan tidak keluar membabarkan Dharma. Jalanan umumnya mulus beraspal dan juga sebagian besar biksu sudah tidak lagi berjalan kaki berkeliling, tapi menggunakan kendaraan.

Menurut pendapat penulis, sebuah tradisi memang tidak harus dijalankan secara kaku dan membabi buta, tetapi kita tetap bisa mengambil esensi dari sebuah tradisi yang baik dengan melakukan penyesuaian. Jadi, kalau kita melihatnya hanya dari sisi waktunya, untuk saat ini di negara kita Indonesia, memang jatuhnya tidak ada atau belum ada hujan yang turun, sehingga seharusnya tidak perlu ada masa Vassa. Dan kalau tidak ada para biksu yang berdiam selama massa vassa itu, memang harusnya tidak ada perayaan Kathina juga. Tapi kita jangan hanya melihat esensi Vassa itu hanya karena menghindari hujan. Vassa tetap dibutuhkan oleh para biksu untuk mereka menyepi, berdiam di satu tempat, melatih diri, melakukan perenungan, menambah pengetahuan dan mengembangkan kebijaksanaan, yang hanya bisa mereka lakukan kalau mereka menarik diri sejenak dari kerumunan umat, dari kesibukan rutinitas keseharian, yakni pelayanan. Dan momen yang paling baik, yang juga disepakati bersama untuk menyepi itu adalah masa vassa.

Cerita mengenai Vassa ini sendiri, menarik kalau kita lihat ada perbedaan antara tradisi buddhis selatan (Therawada) dan tradisi buddhis utara (Mahayana) dalam memulai masa vassa. Dalam tradisi Mahayana, vassa dimulai sehari setelah perayaan Waisak (bulan keempat) dan Therawada memulai sehari setelah perayaan Asadha (bulan keenam), sehingga di Mahayana dikenal juga Kathinanya di bulan ketujuh penanggalan bulan, yang bersamaan dengan tradisi di Tiongkok mengenai hantu-hantu yang dibukakan pintu kurungannya, untuk bisa bebas masuk ke dunia manusia selama sebulan penuh. Sehingga tradisi buddhis Mahayana kemudian memanfaatkan tradisi itu untuk melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhur yang sudah meninggal, yang kita kenal dengan upacara Ulambana.

Mengapa Kathina menjadi sebuah perayaan yang sangat besar dan istimewa dalam tradisi umat Buddha. Menurut pendapat penulis, dikarenakan adanya kerinduan umat Buddha yang ditinggal menyepi para biksunya selama mereka melatih diri tiga bulan. Sehingga momen kembalinya para biksu ini berkumpul kembali bersama umat, ditambah lagi dalam sejarahnya di masa lalu, banyak biksu yang setelah selesai masa vassa itu mencapai tingkat kemajuan batin, sehingga menambah kekuatan dari perayaan itu sendiri.

Dalam tradisi Kathina, ada kebiasaan untuk memberikan jubah, yang awalnya dikenal dengan istilah jubah Kathina. Jubah Kathina itu ada syarat-syaratnya, dan tidak semua biksu yang berlatih diberikan jubah. Hanya ada satu jubah yang diberikan kepada biksu terbaik selama masa vassa itu, yang dipilih oleh mereka yang bersama-sama berlatih. Dan jubah itu dibuat oleh umat tidak lebih dari 24 jam (seharian), lalu diserahkan sehari setelah selesai masa vassa.

Tapi tradisi mendermakan jubah ini menjadi tradisi yang menarik untuk kita bahas, karena memang salah satu kebutuhan biksu itu adalah jubah, selain makanan, obat-obatan dan tempat tinggal, yang mana juga hanya diperbolehkan memiliki dua set. Dalam praktiknya dikarenakan aktifitas biksu yang berkelana berkeliling, menyebabkan kerusakan dalam jubah mereka. Terlebih lagi bahan yang digunakan oleh para biksu di jaman Buddha adalah bahan yang serupa dengan kain pembungkus mayat, yang terkadang memang diambil dari sisa-sisa itu, yang kemudian dicelup dengan getah daun, kemudian dipakai sebagai jubah. Bahan kain sejenis ini memang tidak bertahan lama.

Tetapi, kain yang dipakai oleh para biksu di jaman sekarang adalah kain dengan bahan yang relatif sangat baik dan bertahan lama. Sehingga jubah tidak perlu setiap tahun diganti, bahkan mungkin lima tahun pun belum tentu rusak, apabila tidak tergores, sobek atau bolong-bolong akibat dupa dan api. Kebiasaan umat berdana jubah yang sangat masif di dalam perayaan Kathina menjadi agak berlebihan, yang menyebabkan jubah biksu menjadi berlimpah dan menumpuk di gudang. Yang dalam bahasa lain bisa kita bilang menjadi sesuatu yang mubazir, tidak bermanfaat.

Di dalam bederma/berdana, ada tiga faktor yang membuat tindakan derma itu menjadi sempurna, yakni  si penerima derma, si pemberi derma dan juga barang yang diberikan. Penerima derma di bulan Kathina adalah para biksu yang sudah selesai melatih diri, dimana di masa lalu banyak yang mencapai kesucian setelah latihannya. Apalagi lebih jauh dari itu, di dalam Dakkhinavibhanga Sutta, Buddha memberikan penjelasan adanya tingkatan dalam berderma, dimulai dari memberikan makanan kepada binatang, lanjut ke manusia yang tidak bermoral, manusia yang memiliki molaritas, dan seterusnya sampai bederma kepada seorang Sammasambuddha. Ada total 14 tingkatan, dan Buddha Gotama memberi penegasan bahwa derma kepada Sangha / komunitas para biksu, nilai manfaatnya besar sekali, bahkan lebih besar dari bederma kepada seorang Sammasambuddha sekalipun. Jadi memang wajar kalau umat berbondong-bondong melakukan derma kepada Sangha di bulan Kathina ini.

Faktor kedua adalah kita selaku pemberi derma. Dan yang paling menentukan adalah cetana atau kehendak / niat si penderma itu sendiri. Niat kita haruslah baik sebelum melakukan derma, sesaat kita melakukannya dan setelah kita selesai bederma itu sendiri. Keyakinan yang kuat dan perasan bahagia dalam melakukan kebajikan ini harus senantiasa dimunculkan di awal, sesaat dan di akhir derma. Ini akan menjadikan karma baik kita menjadi sempurna.

Faktor ketiga adalah barang yang kita dermakan. Hendaknya barang ini tidak didapatkan dari hasil perbuatan yang tidak baik dan tentu saja bermanfaat bagi penerima derma itu. Balik ke pembahasan kita di awal, bahwa berdana jubah di jaman sekarang ini menjadi sesuatu yang kurang bermanfaat, kalau dilihat dari jumlahnya yang sudah sangat banyak dan menumpuk.   Begitu juga obat-obatan yang umumnya diberikan oleh umat juga adalah obat-obatan yang generik dan dijual umum, yang kalau dikumpulkan selama sebulan perayaan Kathina itu juga menjadi kebanyakan dan mubazir, karena banyak sekali yang akhirnya kadaluarsa dan tidak bisa digunakan.

Jadi penting bagi kita untuk bisa merubah pola pandang kita, perspektif kita dalam bederma, khususnya di bulan Kathina. Mari memberikan barang yang betul-betul bermanfaat.   Ketimbang setiap tahun memberikan Jubah yang ujung-ujungnya tidak terpakai, atau memberikan obat-obatan yang juga banyak terbuang, kenapa tidak kita memikirkan bentuk lain barang yang kita persembahkan itu. Bentuknya bisa berupa asuransi kesehatan atau dana tabungan darurat yang digunakan oleh komunitas biksu ini saat mereka membutuhkan.  Sehingga tidak menjadi mubazir dan tidak tepat sasaran.

Jadi pada kesempatan yang baik ini, seminggu sebelum kita merayakan Kathina, bulan berdana yang sayang untuk kita lewatkan. Mari kita semua bersama-sama bertekad, memiliki niat yang baik untuk melakukan derma kepada sangha dengan menyempurnakan ketiga faktor tersebut, terutama yang bisa kita lakukan adalah faktor niat kita dan barang yang kita berikan.

Selamat merayakan Kathina. 

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS