Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Mencintai Mengikhlaskan

Afriyanti

Jum'at, 10 Desember 2021

MBI

Orang-orang yang mengenal saya mungkin akan bertanya mengapa seorang introvert seperti saya, yang sangat jarang membicarakan dan bercerita tentang cinta, tiba-tiba menulis artikel ini. Ketertarikan awalnya dipicu oleh sebuah story di akun Instagram seorang teman. “Level tertinggi dalam mencintai adalah Mengikhlaskan”, tertulis pada gambar di story-nya, memikat perhatian saya untuk membalas “Dan kalimat itu yang menjadi level kebohongan tertingginya”. Respon saya seperti itu karena dalam mencintai naluri ingin memiliki dan selalu ingin bersama pasti akan ada. Setelah saya renungkan secara mendalam, kalimat itu ternyata memang betul.


Rasa jalinan ikatan cinta itu manis sekaligus pahit. Momen-momen indah cinta memang ada dan nyata. Tatkala perhatiannya begitu menggemaskan dan rindu terbalas puas, hangatnya cinta merasuk ke dalam jiwa. Namun keindahan cinta laksana surga dunia yang dibaliknya tersimpan berbagai hal menyakitkan yang mampu membuat seseorang lemah tak berdaya, bahkan sampai bunuh diri ketika cintanya hilang. Itulah cinta berubah menjadi sumber derita, inilah pahitnya cinta. Tidak bertemu dengan orang yang dicintai adalah penderitaan (Dhp. 210) dan berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan (Dhp. 211).  Di setiap pertemuan di sana ada perpisahan. Waktunya memang masih misteri, tapi itu pasti akan terjadi meskipun alasan dan bentuknya berbeda-beda. Ada yang berpisah karena kematian, tidak mendapat restu, atau bahkan dikhianati, dan banyak juga yang harus merelakan cintanya pergi demi kebahagian orang terkasih.
 
Mengikhlaskan dan mencintai bagaikan lebah dan bunga yang tidak dapat dipisahkan serta berjalan beriringan. Saat kita mengikhlaskan seseorang yang kita cintai untuk bahagia bersama orang lain dan bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia meskipun bukan dengan kita, itulah yang dinamakan cinta dan inilah arti dari level mencintai tertinggi adalah mengikhlaskan, yaitu melepaskan orang yang dicintai agar bahagia. Namun ini bukan perkara mudah.
 
Mengikhlaskan tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat, prosesnya panjang dan waktunya lama. Saya tidak percaya ada orang yang mampu langsung ikhlas ketika ditinggalkan, baik karena keadaan maupun kematian. Selain itu, mengikhlaskan juga memerlukan kedewasaan yang tinggi. Hiruk pikuk kehidupan yang dialami, proses belajar yang ditekuni, hikmah hidup yang dipetik membantu membentuk seseorang menjadi lebih dewasa sehingga kemampuannya mengendalikan emosi menjadi semakin baik. Dengan terus berlatih mengendalikan pikiran/emosi maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan tidak akan menyerang (AN 4. 14: Samvara Sutta). Selanjutnya, mengikhlaskan dengan baik itu sulit. Bila hati masih terasa sakit ketika melihat orang yang pernah dicintai telah bahagia bersama orang lain, itu ikhlasnya hanya di mulut. Mengikhlaskan yang baik adalah kerelaan yang sama antara yang diucapkan dan yang dirasakan. Yang terakhir, mengikhlaskan membutuhkan pengertian mendalam bahwa cinta tak hanya sekedar memiliki dan bersama selama-lamanya. Berbagai sebab dan kondisi menyebabkan perpisahan harus terjadi, bagaimana pun kerasnya usaha yang telah dilakukan agar tetap bisa bersama. Mengikhlaskan berarti menerima keadaan dan kenyataan yang tidak sesuai rencana dan harapan. Dengan mengikhlaskan, cinta dan kebahagiaan akan tetap tumbuh setiap hari melalui cara yang berbeda-beda.
 
Menyayangi dan mencintai menimbulkan kesedihan dan ketakutan (Dhp. 212 & Dhp 213). Apakah itu berarti kita tidak boleh mencintai atau menyayangi? Sebagai Buddhis perumahtangga jatuh cinta itu alami. Ketika kita jatuh cinta, ingat pesan Buddha untuk tidak melekat pada apa yang dicintai (Dhp. 210). Maka itu, ketika perpisahan terjadi, jangan biarkan kepergiannya memengaruhi kehidupan kita sampai berlebihan. Tetapi belajarlah untuk  melepas/mengikhlaskan supaya kita bebas dari rasa sedih dan ketakutan karena kehilangan. Lantas, bagaimana cara mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai?
 
Pertama, tenangkan diri untuk mencegah kebencian muncul. Ditinggal pergi, dikhianati, ditipu, dikasari oleh orang yang kita cintai itu memang menyakitkan. Dengan sadar dan hati-hati, kita waspada agar pikiran benci tidak muncul.  Bila suatu pikiran berniat buruk dan mencelakai muncul, tinggalkan, halau, hentikan, dan lenyapkan (AN 4.164: Paṭhamakhama Sutta). Jangan sampai kita terpicu untuk mendendam atau membalas. Dendam dan benci hanya membuat rasa sakit yang sudah ada semakin buruk. Kita juga menjadi selalu ingat dengan dirinya; melupakan akhirnya semakin sulit.
 
Kedua, jangan berusaha melupakan melainkan sibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat. Kita harus cerdas. Semakin ingin melupakan, semakin sulit melupakan. Ikhlas itu bukan mati-matian melupakan hingga emosi dan energi terkuras. Menyibukkan diri secara positif membuat kita menggunakan energi untuk fokus mengembangkan kualitas diri yang berkontribusi pada kemandirian dan kesuksesan kita. Aktif melakukan berbagai kegiatan bermanfaat termasuk sebagai salah satu dari empat jenis perbuatan yaitu perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang terbukti  bermanfaat. Perbuatan ini harus dilakukan atas kedua dasar yaitu karena menyenangkan untuk dilakukan dan karena terbukti bermanfaat (AN 4.115 : Thana Sutta). Seiring berjalannya waktu, kita akan terbiasa hidup tanpa dia, bahkan lupa akan keberadaannya.
 
Ketiga, selain sibuk secara positif, menambah kebajikan juga sangat dianjurkan. Kehilangan menorehkan duka yang dalam, kesedihan, putus asa, stres, bahkan kehilangan semangat hidup. Emosi dan pemikiran kita negatif. Kondisi ini tidak boleh terus berlanjut. Bergegaslah melakukan kebajikan dan bersihkan batin dari kejahatan karena seseorang yang lambat dalam melakukan perbuatan baik, batinnya akan bergembira dalam kejahatan (Dhp 116).  Melakukan kebajikan, meskipun hanya perbuatan kecil, membuat kita merasa dan sadar bahwa kita berharga di mata orang yang tepat serta berguna untuk orang lain sehingga tidak perlu merana berkepanjangan hanya untuk meratapi kehilangan orang yang kita cintai. Saat kita menyentuh sisi keberhargaan diri kita dan kegunaan bagi orang banyak, percikan-percikan semangat dan energi positif akan memenuhi diri kita. Terjun aktif melakukan perbuatan baik meningkatkan rasa percaya diri yang sempat jatuh.
 
“Level Tertinggi Mencintai adalah Mengikhlaskan” ternyata bukan bualan. Mencintai juga bukan berarti harus selalu memiliki. Kadang dalam hidup, kita harus bisa mengikhlaskan seseorang yang dicintai bersama dengan orang lain yang lebih baik. Melupakan dan mengikhlaskan seseorang yang telah memberikan banyak hal untuk diingat merupakan hal yang sangat sulit. Namun, sadarilah bahwa ada sesuatu yang memang tidak dapat dipaksakan. Maka lepaskanlah dan bukalah hatimu untuk mengukir cerita baru bersama orang baru. 

Share:

Komentar (1)

Tina ayu murtiana

Selasa, 14 Juni 2022 22:07

Pikiran atau otak membutuhkan waktu untuk melupakan dan melepaskan. Disini di butuhkan sikap untuk memilih,agar masa depan kita terus berlanjut. Jangan sia sia kan waktu kita yang berharga.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS