Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

BATAS

Osvaldo Sumarco

Kamis, 11 November 2021

MBI

Anicca, dukkha, dan annata, disebut Tilakkhana adalah 3 corak universal yang sering dibahas, mulai dari ceramah Dharma Minggu pagi, sampai menjadi salah satu bab dari kuliah agama Buddha. Dukkha sering diartikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh ‘ketidakpuasan’. Sudah menjadi pertanyaan umum tentang mengapa kita harus merasa puas, menerima kondisi, atau bagaimana agar bisa merasa puas.


Buddha mengajarkan ‘kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga’ (Dhp. 204). Cerita dibalik ayat ini ini sangat menarik, yaitu tentang seorang raja yang belum tahu ‘batas’ dari sebanyak apa makanan yang sebaiknya dia makan. Dia makan sangat banyak sehingga setelah makan siang, waktu mendengar ceramah Buddha, sang raja mengantuk dan tertidur. Buddha kemudian menasihati raja untuk mengurangi porsi makan secara bertahap. Setelah melaksanakan petunjuk ini,  hal baik pun terjadi. Tubuh raja kembali menjadi baik demikian juga dengan kesehatannya.

 
Dalam Roga Sutta (AN 4.157) Buddha menjelaskan kepada para biksu tentang  empat jenis penyakit bagi para biksu, dan empat penyakit ini dilandaskan atas tiga hal, salah satunya adalah ketidakpuasan mereka dengan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan yang ada. Ini tentu tidak hanya berlaku untuk para biksu. Kita pun, sebagai Buddhis perumahtangga, akan menderita ‘penyakit’ serupa bila kita bersahabat baik dengan ketidakpuasan.
 
Ketika rasa tidak puas ini tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang, besar kemungkinan dia akan merasakan penderitaan. Penderitaan karena harus terus mengejar sesuatu yang tidak ada batasnya, penderitaan karena tidak tahu kapan hal tersebut akan berakhir. Seperti saat seseorang mengejar kekayaan; bekerja pagi dan malam, tujuh hari seminggu, dua puluh empat jam sehari, tidak ada kata libur dalam kalendernya. Lalu apa yang didapat? Setelah mendapatkan kekayaan yang dia inginkan, baru dia tersadar bahwa usianya sudah tidak muda. Usia yang membuatnya tidak dapat menikmati apa yang dimilikinya, yang mengharuskannya menghabiskan waktu di tempat tidur.
 
Buddha tidak pernah melarang seseorang mengejar kekayaan. Di antara empat jenis kebahagiaan, tiga berhubungan dengan memiliki kekayaan.  Yang pertama adalah kebahagiaan karena memiliki kekayaan dengan penghidupan yang benar, kedua adalah kebahagiaan karena penggunaan kekayaan untuk perbuatan-perbuatan berjasa (perbuatan bajik), dan ketiga adalah kebahagiaan karena tidak berhutang (Ānaṇya Sutta/AN 4. 62). Lalu dimana salahnya bekerja sepanjang hidup untuk mencapai kekayaan?
 
Tidak ada yang salah dalam mengejar atau berusaha mendapatkan sesuatu, baik itu pengetahuan, keterampilan, kesehatan, bahkan kekayaan. Yang keliru adalah absennya rasa puas. Lalu, sesungguhnya, kondisi bagaimana yang dapat dianggap “puas”? Jawabannya: saat kita mampu bersyukur dan berterimakasih dengan apa yang kita miliki dan capai. Buddha mengajarkan tentang tiga jenis orang yang sangat jarang ada di dunia ini, dan salah satunya adalah orang yang bersyukur dan berterimakasih. (Dullabha Sutta/AN 3.114). Jarang ada bukan berarti tidak ada. Kita mampu menjadi orang seperti itu. Pertanyaannya adalah bagaimana.
 
Caranya sederhana, hanya dua langkah. Yang pertama adalah membuat ‘batas’ Tentu tidak semua orang setuju bahwa kita harus puas dengan apa yang kita miliki. Ada yang berpendapat bahwa hidup akan begitu-begitu saja bila kita mudah berpuas diri. Ini membuat kita seolah-olah menyerah dan pasrah dengan apa yang terjadi. Sebenarnya tidak! Buddha sendiri juga menunjukkan untuk tidak pasrah dengan apa yang terjadi. Dari riwayat agung Buddha Gotama kita akan menemukan bahwa Pangeran Siddhartha juga sering tidak puas. Ingat, beliau beliau sudah memiliki 4 istana, kekayaan, tahta yang sudah pasti miliknya, istri yang setia, bahkan seorang anak. Tetapi dia tetap memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya dan bertapa. Dia melakukannya karena tidak puas dengan kondisi kehidupan yang ada, bahwa manusia seolah-olah lahir hanya untuk tua, sakit, lalu mati.
 
Pangeran juga tidak berpuas diri saat belajar dengan gurunya, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta. Setelah belajar semua ilmu dari mereka, dia merasa bahwa bukan itu yang dicarinya. Karena rasa tidak puasnya, akhirnya dia memutuskan untuk bermeditasi sendiri dan mencari jawaban dengan cara dan dirinya sendiri. Akhirnya, petapa Siddhartha mendapatkan apa yang diinginkannya; bebas dari samsara, menemukan Dharma, mencapai penggugahan sempurna menjadi Samma Sambuddha. Bayangkan bila saat itu dia sudah meras puas dengan kekayaanya, tidak akan ada Dharma yang bisa kita pelajari sekarang. Andai saja ia sudah merasa puas dengan ajaran gurunya, dia tidak akan mencapai kesempurnaan.
 
Tetapi Siddhartha juga tidak membabi buta saat mengejar apa yang dia inginkan. Dia membuat ‘batas’. Saat belajar dari dua gurunya, dia membuat batas yang harus dicapai, yaitu menguasai semua ilmu yang gurunya tahu. Ketika batas itu telah berhasil dicapai, batas yang baru dibuat lagi. Begitu seterusnya sampai akhirnya dia memutuskan untuk melakukan praktik petapaan keras sampai-sampai dia kurus kering dan jatuh pingsan. Setelah itu, dia membuat batas yang baru, hingga akhirnya mencapai kesempurnaan.
 
Ketika ingin mencapai sesuatu, kita kadang abstrak dengan batasnya. Sebesar apa, sejauh mana, atau sebanyak apa tidak jelas. Akibatnya, kita mengejarnya dengan membabi buta dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah diraih. Makanya, “batas” itu penting. Misalnya, kita ingin berpendidikan tinggi. Setinggi apa? S1, S2, atau S3? Buat batas yang jelas dan capai secara bertahap. Sama seperti naik ke lantai tertinggi suatu gedung, tangganya tidak langsung menuju lantai tertingi melainkan berhenti di tiap lantai. Di sana, ada tangga ke lantai berikutnya.  Contoh yang lain adalah kekayaan. Tentukan Anda mau sekaya apa, berapa banyak uang yang ingin dimiliki. Buat batasnya. Misalnya, satu miliar rupiah. Kemudian, buat batas-batas kecil untuk mengarahkan ke satu miliar tersebut. Di tahap awal, kita kejar sepuluh juta. Setelah didapatkan, tingkatkan batasnya hingga 100 juta, 200 juta dan seterusnya hingga satu miliar. Mengapa harus demikian? 
 
Membuat batas utama dan batas-batas kecil sebagai tangga untuk mencapai batas utama akan membuat kita lebih menghargai setiap tahap yang telah dicapai dan bersyukur dengan yang sudah dimiliki. Saat sudah mencapai satu batas, diam sejenak untuk menghargai dan menikmatinya bukan hal yang salah. Setelah itu, lanjutkan ke batasan yang lebih tinggi. Sampai di satu batas, buat batas baru lagi. Begitu seterusnya agar kita tidak mengejar sesuatu tanpa arah dan tanpa batas.
 
 
Cara kedua untuk bisa merasa puas adalah hanya dengan merasa ‘cukup’. Banyak orang tidak mengetahui makna ‘cukup’ untuk dirinya sendiri. Contohnya adalah saat makan. Melihat lauk yang hangat dan lezat, tanpa pikir panjang mereka mengambil makanan sebanyak-banyaknya tanpa sadar akan batas kemampuan makannya. Apa yang terjadi kemudian? Ada dua, makanannya tidak habis atau kekenyangan. Selapar apa pun, setiap orang harus tahu cukupnya mereka sebanyak apa. Mengenyangkan perut kosong hanyalah masalah waktu. Kita tidak langsung kenyang karena makanan harus berproses setelah suap demi suap kita masukkan ke mulut kita kemudian dicerna oleh perut. Ini yang sering tidak disadari sehingga orang buru-buru menambah makanan karena merasa masih lapar. Akibatnya, setelah beberapa saat mereka merasa kenyang dan tidak sanggup lagi menghabiskan makanan tambahan yang baru diambil.
 
Menemukan “cukupnya” kita tentu membutuhkan waktu, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Karena dibutuhkan waktu yang lama, banyak orang menyerah mencarinya dan asal-asalan menentukan cukupnya, sampai-sampai yang dia pikir itu cukup malah berlebihan atau bahkan kurang. Saat kita sudah bisa menemukan cukupnya kita dalam setiap kondisi, baik itu keuangan, makanan, pekerjaan, lingkungan, dan lain-lain, kita perlu terus melatihnya di  semua kesempatan. Sampai akhirnya kita sudah terbiasa untuk hidup dengan cukupnya kita. Bila latihan “cukup” telah berhasil, perlahan kita akan puas dengan apa pun yang dimiliki dan dicapai.
 
Jadi, apakah kita harus terus merasa puas? Jawabannya Ya. Tetapi merasa puas bukan berarti pasrah dan tidak berusaha. Puas di sini adalah tidak berlebihan saat ingin menggapai apa yang diinginkan. Lalu, bagaimana mencapainya? Buat batas untuk setiap hal yang kita ingin gapai. Setelah sampai di batas itu, kita harus tahu cukupnya kita. Bila merasa sanggup untuk mengapai lebih tinggi lagi, buat batas yang baru. Tetapi saat melakukanya kita harus tahu cukupnya kita. Jangan paksakan hal yang memang tidak perlu kita gapai. Dengan melatih ini kita akan puas dengan semua yang dimiliki. Dengan memiliki rasa puas kita sudah memiliki salah satu berkah utama seperti yang diuraikan Buddha yaitu merasa puas dan berterima kasih (Manggala Sutta).

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS