Seluruh Indonesia
Ubah Lokasi
  • Artikel

Cari

Tampilkan Artikel

Orang Buta Bijak

Raja Maspin Winata

Kamis, 11 November 2021

MBI

Mungkin beberapa dari pembaca sudah pernah mendengar atau membaca cerita tentang gajah dan orang buta; sebuah kisah yang menggambarkan sempitnya pandangan manusia tentang kebenaran kehidupan. Kisah ini dapat ditemukan di Paṭhamanānātitthiyasutta Sutta (Udana 6.4)  disampaikan Buddha kepada para biksu saat sedang menetap di dekat Sāvatthī, di Hutan Jeta, di vihara Anāthapiṇḍika.


Buddha mengisahkan sebuah eksperimen yang dilakukan oleh seorang raja bijaksana di kota Sāvatthī. Baginda raja mengumpulkan sebanyak-banyaknya orang yang telah buta sejak lahir kemudian menginstruksikan mereka untuk meraba seekor gajah; mengenalkan gajah secara parsial. Sebagian diperkenalkan pada kepala gajah, sebagian pada telinga gajah, yang lain pada gading, ada yang pada belalai, badan, kaki, paha, ekor, dan sebagian lagi pada ujung ekor gajah. Setelah itu, mereka diminta untuk menjelaskan seperti apakah gajah itu. Yang meraba bagian kepala menyatakan bahwa gajah itu seperti kendi, yang meraba telinga menyatakan seperti kipas, meraba gading menyatakan seperti mata bajak,  meraba belalai menyatakan seperti galah bajak, badan gajah seperti lumbung, kaki gajah seperti tiang, paha seperti lesung, ekor gajah seperti penumbuk, ujung ekor seperti sapu. Penjelasan setiap orang tentang apa itu gajah jauh berbeda satu sama lain sehingga mereka berdebat hingga baku hantam karena tidak ada kesepakatan.

 
2500 tahun kemudian, apakah kisah tersebut masih relevan dengan kondisi kehidupan di zaman ini? Adakah pesan inspiratif yang dapat kita ambil? Apakah “buahnya” masih dapat kita petik?
 
Sebagai orang yang mengamati peristiwa dalam kisah itu secara objektif, di luar perspektif orang buta tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hal itu sangat konyol. Konflik tersebut terjadi karena masing-masing merasa dirinya paling benar berdasarkan persepsi mereka atas pengalaman indra terkait “kebenaran bentuk gajah”, kemudian menganggap bahwa pendapat orang lain salah atau sesat.
 
Sekarang, mari kita lihat dari sisi orang yang buta sejak lahir. Kita renungkan pengalaman yang terjadi kepada mereka. Karena sudah tidak dapat melihat sejak lahir, mereka mengandalkan dan percaya kepada indra peraba karena itu adalah indra utama mereka untuk menjelajahi dunia. Oleh sebab itu, mereka menganggap orang lain yang berbeda pendapat tentang “kebenaran bentuk gajah” adalah penipu, pembohong, dan sesat. Kesimpulan seperti itu adalah keniscayaan bagi orang-orang buta pada kisah tersebut.
 
Sebagai pengamat, kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa konflik itu terjadi karena kepercayaan kepada pengalaman atau persepsi indra yang tidak dilandasi oleh kebijaksanaan yang lengkap. Pengetahuan parsial yang dialami dengan indra yang terbatas dan dipegang atau dilekati dengan sangat erat tanpa pertimbangan matang  akan membawa pada perdebatan dan konflik serta kerugian yang sia-sia. Andai setiap pemimpin dari kelompok-kelompok orang buta yang berbeda pendapat mengesampingkan ego, lalu dengan tenang dan cermat mendengar, memerhatikan, menelusuri dan meneliti proses munculnya persepsi “kebenaran bentuk gajah”, maka eskalasi konflik tidak akan terjadi.
 
Sepanjang perjalanan sejarah peradaban manusia, konflik “kebenaran bentuk gajah” konon telah menjadi seperti virus yang mematikan. Ia bagaikan virus lemah yang telah bermutasi menjadi virus perkasa, bertahan dan bahkan berkembang dari masa ke masa. Sudah berapa banyak perang dan konflik—kecil atau besar, lokal maupun global—terjadi diakibatkan oleh perbedaan pandangan terkait apa itu “kebenaran”? Sudah berapa banyak korban jiwa yang timbul atas konflik–konflik tersebut? Sejarah kelam peradaban manusia telah melewati masa konyol, bahkan dampaknya dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Seandainya setiap pemimpin dari kelompok–kelompok manusia yang berkonflik itu mengesampingkan ego, dengan cermat berkomunikasi, memiliki cinta kasih dan kasih sayang serta memiliki rasa toleransi yang bijaksana maka sejarah kelam peradaban kemanusiaan itu tidak akan pernah terjadi.
 
Kembali ke Paṭhamanānātitthiya Sutta, dijelaskan bahwa pandangan penganut sekte lain adalah tanpa penglihatan. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat, tidak mengetahui yang tidak bermanfaat, tidak mengetahui apa itu Dhamma dan tidak mengetahui apa itu Adhamma. Lantas apa makna yang dapat kita petik atas tanggapan Buddha terkait kisah orang buta pada sutta tersebut? Kita harus fokus pada pengembangan kebermanfaatan, mengikis ketidakbermanfaatan, memahami apa itu Dhamma dan Adhamma serta berjalan selaras dengan Dhamma dan meninggalkan Adhamma. Ini berarti Dhamma membawa kebermanfaatan dan kebermanfaatan adalah Dhamma. Sebaliknya, Adhamma membawa ketidakbermanfaatan dan ketidakbermanfaatan adalah Adhamma.
 
Dalam Antarāmala Sutta (Itivuttaka 88) dipaparkan bahwa keserakahan, kebencian dan kekelirutahuan (lobha, dosa dan moha) membawa pada ketidakbermanfaatan. Mereka menyebabkan kesusahan dan penderitaan serta membahayakan.
 
Yang Arya Sariputta menjelaskan bahwa seseorang yang memahami tentang hal tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, memahami yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat adalah orang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan tak-tergoyahkan dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati. Lebih lanjut diklasifikasikan bahwa hal tidak bermanfaat adalah perbuatan jahat melalui pikiran, ucapan dan tubuh dengan akar perbuatan keserakahan, kebencian dan kekelirutahuan. Dan hal yang bermanfaat adalah menghindari perbuatan jahat melalui pikiran, ucapan dan tubuh dengan akar perbuatan tanpa keserakahan, kebencian dan kekelirutahuan (Sammādiṭṭhi Sutta/Majjhima Nikāya 9)
 
Buddha mengklasifikasikan orang bijaksana dan orang tidak bijaksana berdasarkan karakteristik perbuatan. Mereka yang melakukan perbuatan buruk melalui tubuh, ucapan dan pikiran adalah tidak bijaksana dan sebaliknya mereka yang melakukan perbuatan baik melalui tubuh, ucapan dan pikiran adalah bijaksana (Lakkhaṇa Sutta/Aṅguttara Nikāya 3.2).
 
Dari beberapa sutta tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa adalah penting untuk fokus pada pengembangan kebermanfaatan atau Dhamma dan menghindari ketidakbermanfaatan atau Adhamma dengan cara mengembangkan kebijaksanaan melalui pemurnian perbuatan pikiran, ucapan maupun tubuh.
 
Mari kita renungkan secara mendalam. Apakah kita juga memiliki sifat dan kualitas yang sama seperti orang buta pada kisah awal di atas? Apakah kita adalah jelmaan orang-orang buta dari kota Sāvatthī tersebut? Atau kita adalah “Orang Buta Bijak” yang telah mempelajari dan memetik hikmah dari kisah dan penjelasan tersebut? Dengan menyadari bahwa kita masih memiliki “keterbatasan indra” dalam mengenal kebenaran dan kemungkinan besar masih terikat pada pengetahuan parsial bagaikan orang buta pada kisah di atas, maka setidaknya kita tidak terlibat dalam konflik atau bahkan mengeskalasi konflik. Sembari dengan saksama mencari, mengamati, mempelajari dan mempraktikan apa yang diyakini sebagai kebermanfaatan dan kebenaran, serta tidak terseret pada konflik. Iulah yang saya sebut sebagai “Orang Buta Bijak”
 
Seandainya setiap manusia dari kelompok mana pun dalam kesehariannya mengesampingkan ego, dengan cermat berkomunikasi, memiliki cinta kasih dan menunjukkan kasih sayang serta memiliki rasa toleransi yang bijaksana atau secara umum mengupayakan kebermanfaatan dan meninggalkan ketidakbermanfaatan maka sesungguhnya konflik “kebenaran bentuk gajah” tidak mungkin lagi terjadi. “Orang Buta Bijak” menghindari konflik, perdebatan dan menjadikan kebijaksanaan, kebajikan dan kebermanfaatan sebagai “guiding block”[1] dalam menjalani kehidupannya. Marilah bersama-sama cegah konflik dan derita dengan berjalan pada “guiding block” tersebut.
 
 
 
[1]  keramik yang didesain secara khusus bagi tunanetra untuk membantu mengarahkan mereka berjalan.

Share:

Komentar (0)

Belum ada Komentar.

Ubah Filter Konten
Informasi

Silakan Masuk dengan menggunakan aplikasi Android/IOS