Catatan Pabbaja Singkat dalam Kesadaranku
U.P. Mita Kalyani Irma Gunawan
Jum'at, 03 Mei 2024
MBI
Waktu remaja pernah ada keinginan menjadi sangha monastik, karena sepertinya hidup ga dipusingkan berbagai hal dan damai saja. Saat itu belum bertemu guru atau komunitas yang tepat untuk lebih jauh memahami dan menjalin jodoh tentang keinginan ini.
Menginjak usia kepala lima, ada kesempatan yang datang, ada panggilan hati yang mengingatkan kembali keinginan lama itu, mungkin dibumbui juga dengan sedikit penyesalan bahwa begitu banyak waktu seperti sia-sia. Saatnya untuk berhenti sejenak mengembalikan diri yang begitu lelah lahir dan batin. Membaca info tentang acara pelatihan pabbajja ini dan ada guru-guru pembimbing yang banyak dikenal kepiawaiannya, penulis beraditthana bahwa kesempatan ini tidak boleh dilewatkan, apapun yang terjadi. Ada semacam kekonyolan pemikiran, jangan sampai kehidupan penulis berakhir, tidak dapat menjalani kebajikan indah ini.
Satu minggu menjelang hari H, ada beberapa drama yang nyaris menghambat, tiap hari beraspirasi dan memohon kepada alam semesta, mohon ijinkan dan dukung saya agar pabbajja ini menjadi bagian dari lembaran hidup saya yang paling berharga. Urusan pangkas rambut penulis dengan panjang 30 cm yang rencananya mau didonasikan pun gagal, karena ada kesalahan teknis pengeringan rambut, lalu kusut. Si stylist rambut pun sampai berkali kali mohon maaf kepada penulis dan penulis hanya menjawab “ya sudahlah”. Toh yang namanya mau donasi kan mau melepas, mungkin niat baik ini belum jodoh. Seringkali kan orang mau berbuat baik ternyata juga sulit menemukan kesempatan, waktu, tempat dan obyek yang tepat. (Dalam hati penulis, apakah ini pertanda buruk akan ada halangan untuk gagal ikut pabbajja? Pikiran, yang belum terjadi, selalu menjadi kekhawatiran.)
Tibalah hari H, rasa khawatir karena tubuh agak tidak dalam kondisi sehat, memikirkan apakah sanak keluarga yang ditinggalkan bisa diandalkan, hingga kecemasan apakah selama pabbajja ini mampu dijalani. (Baiklah, kembali berhenti sejenak, kembali ke niat awal, ayo lanjutkan.)
Dimulai dari prosesi pencukuran rambut hingga plontos, ada satu perenungan bahwa melepaskan rambut ini hingga licin, semoga kekotoran batin penulis pun juga terkikis habis. Entah kenapa, air mata mengalir, rasa bahagia dan haru ini, akhirnya momen ini dapat diikuti, semoga lancar hingga akhir pelatihan. Dilanjutkan dengan rangkaian penyerahan jubah dari donatur atau perwakilan keluarga kepada peserta dan cara mengenakan jubah yang cukup "ribet". Sampai ada satu peserta mengatakan, "aduh kalo pake jubah kayak gini ga bisa bisa, mengundurkan diri sajalah aku." Dalam benak penulis, “apaaa??? setelah sudah gundul gini mau mundur karena sudah setress dengan pakai jubah?” (Baiklah penulis tidak mau ikutan khawatir, mari kembali ke proses berikutnya. Ada kalyanamitta yang penulis yakin pasti akan saling membantu.)
Keesokan harinya, saat penahbisan pun tiba, Y.M. Aryamaitri Mahasthavira memberikan wejangan dan menahbiskan para peserta. Jubah Sangha resmi dikenakan, janji peraturan sila sudah diucapkan, lagi air mata mengalir. Mungkin dalam kehidupan lampau, pernah jadi monastik, mungkin ada kerinduan ini atau karena melow saja ? (Baiklah, mari menikmati momen ini, menjadi samaneri.)
Bhante Bhadrasena Thera mengawali momen ini dengan menjelaskan tentang tugas-tugas dan kedisiplinan samanera/i dan pengulangan 75 sekhiya setiap malam menjadi pengingat seluruh peserta. Betapa aturan moralitas dan tata cara bersikap yang harus diperhatikan para samanera/i ini menjadi alarm di setiap kegiatan seluruh peserta.
Sesi pendalaman agama Buddha dimulai oleh Y.M. Dharmavimala Mahathera dengan materi sejarah perkembangan agama Buddha, sekaligus memahami Buddhayana bukanlah sebagai sekte atau aliran atau pemisahan organisasi yang seringkali disalahartikan oleh banyak umat Buddha. Buddhayana dalam artian agama Buddha inti (awal, asali, universal), jalan pembebasan, non sektarian. Praktiknya juga dijalani selama pabbajja ini dengan metode pengajaran dari Sangha berjubah Theravada dan Mahayana. Praktek mindfulness serta pembacaan paritta dan sutra dalam bahasa Indonesia yang dibimbing dan dipandu oleh Bhante Bhadraprana. Ada lagi pembacaan paritta saat puja pagi yang dilantunkan dengan nada khas nusantara oleh Bhante Pannajoto menjadi warna indah Buddhis Indonesia.
Apakah ada yang mengaku sebagai sekte atau aliran Buddha yang asli dan murni? Ayolah berpikir kritis, Buddha mengintruksikan murid-muridnya menyebarkan ajaran kebenaran ke seluruh penjuru dunia. Apa yang biasanya terjadi setelah masuk menjadi bagian dari budaya, tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat? Dengan memahami secara mendalam tentang Buddhayana (Jalan Buddha) sebagai jalan pemersatu, sekat pemisahan tentang si "aku" ini dapat dipraktikkan secara jernih dan melepas. Penulis mengumpamakan, ibarat seorang anak kecil yang diajari rumus matematika oleh guru di sekolah, begitu di rumah diajarkan rumus yang berbeda oleh orang tuanya dan walaupun mendapat hasil akhir yang sama, si anak akan protes karena cara atau rumusnya berbeda. Ia ngotot bahwa caranya haruslah sama dengan si guru. (Baiklah, jalan atau metode mana yang akan dipilih, silakan memilih, namun satu tujuannya, pembebasan!)
Lanjut dengan materi purifikasi yang dipraktekan langsung oleh Biksuni Xien Yi juga menjadi alarm yang religius, agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila tidak menyempatkan diri dengan kelengkapan doa sebagai bagian dari purifikasi, maka lakukan hal kecil yang konsisten sebagai pengingat kebajikan pada akhirnya.
Materi berikutnya adalah membongkar pemikiran atau jawaban tentang alasan memilih agama Buddha, memahami eksistensi kehidupan dan makna serta praktek perlindungan yang disampaikan oleh Y.M. Nyanasila Thera. Jawaban yang sama seharusnya diyakini oleh umat Buddha bahwa beragama Buddha karena sebab yakin terhadap Tiratana dan motivasi untuk tetap di alam samsara dengan terlahir di alam bahagia atau memilih bebas dari samsara mencapai Nirwana. Gambaran besar yang disampaikan Bhante Nyanasila juga menggunggah kesadaran penulis, bahwa untuk tahu tujuan sebagai umat Buddha, contoh, keinginan meninggal di usia berapa, setelah meninggal mau kemana, moralitas apa yang harus dimiliki, perbuatan baik apa yang harus dilakukan. (Baiklah, berkat timbunan kebajikan yang kulakukan sebelumnya, sehingga penulis bisa mengikuti pabbajja ini dan berada dalam komunitas yang welas asih ini, baik para Sangha pembimbing, para panitia, para peserta dan para donatur. Terima kasih alam semesta.)
Di sela pendalaman materi Buddha Dharma, tentunya sesi meditasi adalah yang paling dinantikan sekaligus "ditakuti" para peserta. Meditasi duduk bersila, meditasi jalan, meditasi makan, meditasi mendengarkan, relaksasi hingga meditasi satipathana. Berkat kesigapan panitia yang sabar dan welas asih, campuran koyo dan obat tolak angin menjadi bantuan yang sangat dinantikan para peserta. (hahaha..) Namun ada beberapa momen meditasi, dimana penulis begitu sangat mensyukuri bisa terlibat dalam pabbajja ini, seperti mimpi tapi harus disadari, momen yang harus dinikmati dengan kesadaran penuh.
Pindapata pertama dilakukan di pagi hari yang sejuk di Pondok Sadhana Amitayus, dengan membawa patta (mangkuk) dan berbaris rapi, ada satu perasaan yang tidak bisa diuraikan dengan tepat. Entah itu rasa bersyukur, aneh, bahagia, bingung, bangga, atau mungkin, “oh mau makan yang biasanya bisa pilih menu dan mengambil sendiri, ini kok gini ya.” Air mata kembali mengalir, oh begini rasanya ya, walau tidak tahu apa tepatnya. Hari-hari selanjutnya menjadi gurauan sendiri, pagi ini ada menu apa ya, siang nanti menunya gimana. Maklum, biasanya sebagai ibu rumah tangga mengatur menu sendiri, tapi saat ini mengalami seperti lagu, makan apa, makan apa, makan apa sekarang. (Baiklah, ini pembelajaran melepas keinginan si aku.)
Menjalani kedisiplinan moralitas dan spiritualitas bersama komunitas selama pabbajja ini, memiliki vibe energi positif yang sangat membantu. Walaupun ada beberapa peserta yang "bandel" dan mungkin tanpa disadari termasuk juga penulis lakukan. Langkah kaki yang terlalu berisik, suara mengunyah atau berdecap, gerakan yang terburu-buru, tidak tepat waktu mengikuti jadwal, larangan percakapan yang kadang diabaikan, jubah yang lalai dirapikan hingga duduk diam saat istirahat bisa mendengkur, sandal yang sudah dinamai masih bisa tertukar berkali-kali, jadi keseruan sebagai pembelajaran pengendalian diri. Bahwa menjadi tenang, sabar dan sadar penuh ternyata perlu lebih ketat berlatih!
Para peserta pabbajja ini mayoritas adalah para pandita atau dharmaduta yang notabene sebagai yang membantu Sangha dalam melakukan pelayanan umat. Materi tentang Memahami Diri Dengan Melayani yang disampaikan dengan mendalam oleh Y.M. Nyana Suryanadi Mahathera, menjadikan pengingat dan bekal bagi para pelayan Dharma ini. Yang mana dasar praktik pelayanan dimulai dari memahami kesadaran diri dulu, hingga akhirnya baru dapat timbul belas kasih /karuna dan empati sebagai landasan melayani dari hati. Mendengarkan dengan sadar penuh sehingga melakukan respon dan reaksi yang sabar dan tidak menghakimi.
Materi terakhir dibawakan oleh Bhante Bhadraprabhawa mengenai Memahami Konflik dan Teknik Buddhis Dalam Mengatasinya, menjadi praktek pamungkas para pandita dan pengurus Wihara yang memang tema persoalan yang diberikan dalam grup diskusi, nyata dialami saat menjalani pelayanan baik sebagai pengurus maupun umat. Jangan sampai praktisi Buddhis yang katanya paham teori Buddha Dharma, melakukan hal bodoh dengan kekerasan saat terjadi konflik. Penulis jadi teringat kejadian satu konggres pemuda Buddhis yang begitu, memalukan dan memilukan! (Baiklah, kembali ke nafas, mungkin mereka perlu pelatihan diri seperti ini.)
Hari terakhir, pindapata terakhir, yang dihadiri banyak kalyanamitta penuh kegembiraan, menyapa para samanera dan samaneri yang dikenal, terkaget-kaget, difoto, dihormati, dipuji, bagaimana rasanya? Penulis kembali meluncurkan air mata, bukan untuk kesombongan mengenakan jubah ini, tapi, sahabatku dalam Dharma, ada satu dorongan hati ingin mengajak. Marilah ikut bersama praktik dalam kebajikan ini, terus berlatih, belajarlah terus menyebar kebaikan dan melepas keburukan agar terbebas dari samsara. Mengenakan jubah ini atau tidak mengenakannya memang sama-sama ada penderitaan dan kebahagiaan, tapi marilah terus sadar, membina diri dan meningkatkan diri. Buddha telah tunjukkan jalan dan tujuan akhir. Kematian adalah pintu kelahiran kembali, sebelum mati teruslah berjuang. (Baiklah, dengan kesedihan yang mendalam, jubah Sangha ini penulis lepaskan, semoga makna mulia selama pabbajja ini, praktik penyadaran penuh dapat terus dilakukan sekarang dan selama-lamanya.)
"Perhatikan O para Biksu, ini adalah nasihat terakhir Tathagata kepada kalian. Semua bentuk perpaduan di dunia ini adalah selalu berubah. Mereka tidak kekal. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh untuk mencapai Kebebasan Sejatimu " (Mahaparinibbana-Sutta, D.ii.156)
Sujud mendalam kepada guru pembimbingku Bhante Bhadranatha yang juga sebagai Ketua Panitia pabbajja ini, Yang Luhur Samaneri Ida dan Yang Luhur Samaneri Dewi dan segenap panitia yang bekerja keras dengan penuh welas asih dan sabar. Semoga timbunan kebajikan ini membuahkan kesadaran terus menerus dan pada akhirnya kita dapat bersama mencapai Nirwana.
Sadhu,sadhu,sadhu.
Komentar (1)
Sudy Halim
Sabtu, 18 Mei 2024 13:46
Terima kasih atas ceramah dhammanya, Ramani.